Minggu, 10 Juli 2011

Kamis, 13 Januari 2011


SIKAP MASYARKAT DAN KAJIAN ASPEK BIOETIKA

TERHADAP TANAMAN TRANSGENIK

M. Nasir Tamalene

Dosen FKIP Universitas Khairun

Email:acilnasir@gmail.com/aceogan@yahoo.co.id

Web blog: http.www.biotamalene.blogspot.com

Abstrak

Transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk hidup kemakhluk hidup lainnya, baik dari satu tanaman ketanaman lainnya, atau dari gen hewan ke tanaman. Tanaman transgenik adalah tanaman hasil rekayasa gen dengan cara disisipi satu atau sejumlah gen (transgene) yang merupakan salah satu kemajuan bioteknologi yaitu Genetically Modified Organism (GMO) untuk mengatasi masalah pangan.Teknologi ini menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Sikap pro masyarakat terhadap penggunaan tanaman transgenik berkaitan dengan keuntungan dari segi kemanfaatan pada bidang pertanian dan kesehatan, sedangkan sikap kontra terhadap tanaman transgenik berkaitan dengan uji keamanan pangan untuk kesehatan dan keamanan aspek lingkungan. Dari aspek bioetika, penggunaan tanaman transgenik meskipun dapat meningkatkan kualitas hidup namun harus dievaluasi dengan hati-hati. Terkait dengan masalah tersebut, maka disarankan agar masyarakat (formal dan non formal)mengambil sikap atau merespon tanaman transgenik tersebut secara wajar, realistis dan proporsional dengan mempertimbangkan aspek agama, legalitas(hukum), kesehatan, sosial-ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan aspek etika lingkungan.(bioetika).

Kata kunci: sikap, masyarakat, bioetika, tanaman, transgenik

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan populasi penduduk dunia yang sangat pesat dewasa ini sebagai akibat dari angka kelahiran (natalitas) yang tinggi menyebabkan konsekuensi yang besar terhadap upaya-upaya pengadaan dan peningkatan suplai pangan dunia. Salah satu alternatif upaya mengatasi permasalahan di atas ditempuh dengan menerapkan bioteknologi untuk pertanian. Menurut Matsui, Miyazaki, dan Kasamo (1997 dalam Susiyanti , 2003), salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknologi transgenik yang merupakan bagian dari rekayasa genetika (RG). Salah satu produk RG yang dikenal saat ini adalah tanaman transgenik (Muladno, 2002; Elrod & Stansfield, 2007). Tanaman ini dihasilkan dengan cara mengintroduksi gen tertentu ke dalam tubuh tanaman, sehingga diperoleh sifat yang diinginkan. Jenis-jenis tanaman transgenik yang telah dikenal diantaranya tanaman tahan hama, toleran herbisida, tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta tanaman dengan produktivitas yang lebih tinggi.

Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka pertumbuhan 1.7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar (Hutapea dan Mashar, 2009).

Dokumen FAO tahun 2001 menjelaskan bahwa penggunaan produk transgen (yang mencakup tanaman, hewan dan mikroorganisme) atau disebut GMO (genetically modified organism) berkaitan erat dengan etika pangan dan etika pertanian dunia. Akibatnya, pembahasan mengenai penggunaan tanaman transgenik tidak lagi hanya berupa keamanan pangan, melainkan juga mempertimbangkan hak konsumen dan dampak lingkungan dari pengembangan dan komersialisasi GMO (Widodo, tanpa tahun). Untuk lebih memahami apa itu tanaman transgenik, bagaimana sikap masyarakat (formal, non formal), dan pandangan dari aspek bioetika serta beberapa aspek yang terkait terhadap penggunaan tanaman transgenik, maka dalam penelitian ini akan dibahas dan dipaparkan hal-hal tersebut secara lebih mendalam.


B. Tujuan

Tujuan dari studi kepustakaan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui tentang sikap masyarakat tentang penggunaan tanaman transgenik

2. Untuk mengetahui kajian bioetika terhadap penggunaan tanaman transgenik

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Library Research (Penelitian Kepustakaan) dimana penelitian yang dilakukan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) dari penelitian sebelumnya. Literatur dimaksud yaitu dari jurnal, buku, text database, tesis orang lain, disertasi doktor, paper, skripsi, makalah seminar dll) yang diperoleh melalui perpustakaan pusat Universitas Negeri Malang (UM), perpustakaan Program Pascasarjana UM, serta dari perpustakaan Universitas Brawijaya (UB) Malang dan dari internet. Data-data dan teori-teori atau temuan-temuan sebelumnya yang diperoleh melalui studi kepustakaan kemudian ditelaah.

HASIL STUDI KEPUSTAKAAN

Hasil studi kepustakaan tentang sikap masyarakat dan kajian bioetika terhadap tanaman transgenik adalah sebagai berikut:

1. Sikap masyarakat tentang penggunaan tanaman transgenik di Indonesia

Penggunaan tanaman transgenik hingga saat ini, masih menuai sikap pro dan kontra di dalam masyarakat. Masyarakat yang pro pada penggunaan tanaman transgenik terutama melihat pada potensi pemanfaatan tanaman transgenik untuk mengatasi krisis pangan, dan cenderung berpendapat penggunaan transgenik tidak berbahaya. Sedangkan masyarakat yang kontra pada penggunaan transgenik karena menganggap tanaman transgenik belum dievaluasi mendetail untuk keamanan tingkat konsumsinya bagi manusia, bagi lingkungan dan mempertanyakan asal-usul gen yang diintroduksi ke dalam tanaman. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pro dan kontra yang terjadi di masyarakat mengenai penggunaan tanaman transgenik, berikut dipaparkan alasan masyarakat yang pro terhadap penggunaan tanaman transgenik dan alasan masyarakat yang kontra terhadap penggunaan tanaman transgenik yang merupakan sikap masyarakat non formal (non sekolah). Disamping itu juga akan dipaparkan bagaimana semestinya sikap masyarakat formal (sekolah) terutama sikap para pendidik (guru) terhadap permasalahan penggunaan tanaman transgenik ini.

Sikap Pro Penggunaan Tanaman Transgenik

Masyarakat yang pro pada penggunaan tanaman transgenik berdasarkan pada asumsi bahwa dalam dunia pertanian tanaman pangan dan kehutanan, transgenetika dapat dikatakan bertujuan mulia, yaitu demi keuntungan petani maupun pengolah hasil pertanian. Sebagian besar tanaman budidaya transgenik berupa tanaman-tanaman yang memiliki ketahanan terhadap hama serangga (Widodo, tanpa tahun). Ketahanan terhadap serangga dikarenakan tanaman ini mampu memproduksi toksin bakteri Bacillus thuringiensis, agen pengendali hama (serangga) secara organik, karena telah disisipi gen penghasil toksin tersebut. Adanya kemampuan ini menurunkan penggunaan herbisida, zat kimia pertanian (agrochemicals) yang biasa digunakan untuk mengendalikan tanaman pengganggu (gulma). Sehingga efisiensi pertanian menjadi meningkat. Contoh tanaman transgenik yang tahan hama ini misalnya kapas Bt, kedelai Bt dan jagung Bt (Widodo, tanpa tahun).

Kompas edisi Januari 2000 memuat prakiraan keuntungan penggunaan tanaman transgenik yaitu: 1) Panen tinggi: Tanaman hasil rekayasa genetik dapat membantu memperbaiki jumlah dan kualitas panen di lahan marjinal seperti tanah asam dan tandus, 2) Perbaikan nutrisi: Produk tanaman, kedelai misalnya, bisa dimodifikasi mengandung lebih banyak protein, zat besi, untuk mengatasi anemia. Baru-baru ini, ilmuwan Eropa berhasil memasukkan vitamin A pada padi. 3) Perbaikan kesehatan: Vaksin di dalam produk tanaman akan mempermudah pencapaian sasaran dan cakupan, dan 4) Sedikit bahan kimia: Tanaman rekayasa genetik yang sudah dibuat tahan hama dan gulma misalnya, tidak memerlu-kan lagi pestisida dan herbisida.

Karena alasan-asalan yang dikemukakan di atas, maka transgenik merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan publik. Teknologi ini potensial untuk mengatasi masalah masa depan ketahanan pangan yang akan dihadapi bangsa, karena masalah-masalah struktural sektor pertanian yang sulit diatasi, seperti terjadinya alih fungsi lahan, jenuhnya kesuburan tanah-tanah (terutama di Jawa) yang mengancam produktivitas pangan. Begitu juga teknologi ini bisa menjadi solusi untuk masalah over fishing sektor perikanan, yang menyebabkan jumlah dan keragaman ikan menjadi berkurang.

Sikap Kontra Penggunaan Tanaman Transgenik

Masyarakat yang kontra terhadap penggunaan transgenik karena mengkahwatirkan dampak yang ditimbulkan konsumsi tanaman transgenik terhadap kesehatan dan lingkungan. Hal ini terjadi karena tanaman transgenik belum dievaluasi penggunaannya secara mendetail dalam jangka panjang sebelum dilepaskan ke pasaran.Terhadap kesehatan manusia, tanaman transgenik tahan hama diduga dapat menimbulkan keracunan bagi konsumennya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa tanaman tahan serangga yang diintroduksi dengan gen Bt yang bersifat racun terhadap serangga, juga akan berakibat racun pada manusia.Tanaman transgenik juga diduga dapat menimbulkan kemungkinan alergi jenis baru akibat ditambahkannya protein tertentu ke dalam tanaman, misalnya pada kedelai transgenik yang diintroduksi dengan gen penghasil protein metionin dari tanaman brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap manusia. Lewat uji skin prick-test menunjukkan kedelai transgenik positif sebagai alergen. Bantahan kedelai transgenik bertindak sebagai alergen adalah karena alergen memiliki sifat stabil dan membutuhkan waktu yang lama untuk terurai dalam sistem pencernaan, sedangkan protein bersifat tidak stabil dan mudah terurai oleh panas pada suhu >65 0C yang jika dipanaskan tidak berfungsi lagi. Sehingga protein kedelai yang telah mengalami proses pemanasan tidak bertindak sebagai alergen. Dalam hal ini, lagi-lagi pendapat tersebut masih berupa asumsi. Akan tetapi, memang saat ini belum ada cara yang dapat diandalkan untuk menguji makanan RG yang bersifat allergen, sehingga kasus ini masih berupa prediksi yang belum jelas kesimpulannya. Tanaman golden rice yang diklaim sangat bermanfaat pun ternyata setelah diuji tidak hanya memproduksi beta karoten, tetapi juga lutein dan zeaxanthin, dua senyawa yang belum diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan (Nestle, 2003 dalam Cahyadi, 2006 ).

Secara ringkas, Kompas edisi Januari 2000, memperkirakan resiko kerugian akibat penggunaan tanaman transgenik yang disitir dari Asiaweek sebagai sumbernya yaitu: 1) Timbulnya alergi baru: Manipulasi genetik sering memanfaatkan protein dari organisme yang tidak pernah dimakan. Padahal diketahui banyak penyebab alergi berasal dari protein, 2) Resistensi antibiotik: Gen yang resisten terhadap antibiotik yang sering digunakan sebagai penanda untuk menyeleksi sel-sel transgenik, mungkin saja pindah ke manusia atau organisme lain yang bisa menimbulkan masalah kesehatan, 3) Virus baru : Gen virus pada tanaman untuk membuatnya tahan terhadap serangan virus, bisa saja bergabung dengan mikroba baru yang menginfeksi tumbuhan itu, sehingga bisa menghasilkan hibrid baru yang lebih ganas, 4) Gulma baru: Pada lingkungan yang lebih luas, mungkin saja gen tahan herbisida yang diintroduksi ke tanaman pindah melalui serbuk sari yang menyerbuki gulma sekitarnya. Muncullah gulma super yang sulit ditangani dan menghancurkan ekosistem, dan 5) Hama resisten : Pemaparan terus-menerus dari tanaman yang bisa menghasilkan pestisida sendiri bisa menyebabkan hama menjadi kebal dan membuat racun pestisida itu akhirnya tidak efektif. Selain itu menurut Goya dkk, (2009) Ada empat jenis resiko yang mungkin ditimbulkan oleh produk transgenik yaitu: (1) Efek akibat gen asing yang diintroduksi ke dalam organisme transgenik, (2) Efek yang tidak diharapkan dan tidak ditargetkan akibat penyisipan gen secara random dan interaksi antara gen asing dan gen inang di dalam organisme transgenik, (3) Efek yang dikaitkan dengan sifat konstruksi gen artifisial yang disisipkan ke dalam organisme transgenik, dan (4) Efek dari aliran gen, terutama penyebaran secara horizontal dan sekunder dari gen dan konstruksi gen dari organisme transgenik ke spesies yang tidak berkerabat.

Contoh:

Upaya menghasilkan beras transgenik yang rendah glutelin ternyata pada saat bersamaan memunculkan karateristik lain, yaitu meningkatnya kandungan prolamin. Rendahnya glutelin berdampak positip pada protein yang tersimpan pada beras (rice protein storage). Namun, meningkatnya prolamin akan mengakibatkan perubahan kualitas gizi dan bahaya alergi bagi siapa pun yang mengonsumsinya. Kedelai kaya lysine (salah satu asam amino esensial), maka ternyata dampak ikutannya adalah kadar lemak kedelai menjadi turun. Hal ini jelas tidak dikehendaki, apabila maksud dikembangkannya tanaman kedelai adalah sebagai bahan baku minyak goreng. Demikian pula beras kaya beta-karoten, menghasilkan karakteristik ikutan berupa meningkatnya xantophyll.

Resiko di atas menimbulkan potensi bahaya bagi lingkungan dan manusia yaitu: (1) Pemindahan DNA transgenik secara horisontal ke mikroorganisme tanah, yang dapat mempengaruhi ekologi tanah, (2) Kerusakan organisme tanah akibat toksin dari transgenik yang bersifat pestisida, (3) Gangguan ekologis akibat transfer transgen kepada kerabat liar tanaman, (4) Kerusakan pada serangga yang menguntungkan akibat transgenik bersifat pestisida, (5) Timbulnya virus baru, (6) Meningkatnya resistensi terhadap antibiotik, termasuk dan terutama pada manusia yang memakan produk transgenik, dan (7) Meningkatnya kecenderungan allergen, sifat toksik atau menurunnya nilai gizi pada pangan transgenik.

Sikap dan Kebijakan yang Sepatutnya Diambil

Kontroversial penggunaan suatu produk teknologi maju termasuk bioteknologi harus dapat diatasi secara bijaksana. Salah satunya dengan pembuatan suatu produk hukum yang bersifat legal. Indonesia terkesan lambat dalam membuat Undang-undang Keamanan hayati. Pemerintah dapat menerima masukan sebanyak-banyakanya dari masyarakat, kemudian dibuat suatu pedoman standar yang mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap dari tanaman transgenik dan produk olahannya (Mardiana, 2000). Selain itu, informasi mengenai konstruksi dan evaluasi tanaman transgenik dan produk olahannya dipandang perlu. Seperti disarankan oleh YLKI dan Konphalindo (dalam Mardiana, 2000) yang mendesak pemerintah guna mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengadakan moratorium atas impor, penjualan dan pelepasan makanan dan produk transgenik hingga ada peraturan yang jelas dan ada bukti keamanannya.

2. Menyusun Undang-undang keamanan hayati dan pangan.

3. Meratifikasi protokol Cartagena, menyusun peraturan pelaksanaannya dengan menggunakan protokol tersebut sebagai standar minimum.

4. Mengadakan dialog vertikal dan horizontal untuk mengambil keputusan tentang arah kebijakan pengawasan riset, uji coba, pelepasan, penggunaan dan monitoring produk transgenik.

5. Memberlakukan sistem label.

6. Menyusun data base produk dan uji coba produk transgenik yang ada di Indonesia dan menyebarkan informasi tersebut ke publik.

Sikap masyarakat hendaknya wajar dan proporsional terhadap tanaman transgenik tersebut, mengingat tanaman transgenik banyak memberikan keuntungan terutama sebagai alternatif dalam usaha mengatasi krisis pangan dunia dengan memanfaatlkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, walau memang masih menyisakan berbagai kelemahan yang patut diperhatikan dan dipertimbangkan. Untuk itu masyarakat harus melihat dari aspek agama, hukum, sosial-budaya. Terutama menyangkut aspek agama dan hukum, apabila agama sudah menghalalkan dan secara hukum sudah dilegalkan, maka setelah itu tergantung setiap individu, apakah akan mengkonsumsi atau tidak berbagai makanan hasil olahan dari produk tanaman transgenik tersebut berdasarkan sudut pandang yang dimilikinya. Dengan demikian tidak menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dan berkepanjangan yang justru akan menyebabkan adanya konflik horizontal yang merugikan kita semua. Sikap pro dan kontra wajar dan sah-sah saja sebagai salah satu hak asasi setiap orang, sepanjang dilakukan berdasarkan aturan, etika dan saluran yang benar.

Sikap-sikap seperti ini harus terus dipupuk dan dikembangkan dalam dinamika masyarakat madani dewasa ini, karena kedepan kita akan banyak dihadapkan pada masalah perkembangan IPTEK yang akan banyak menyentuh ranah afektif. Ranah afektif yang dimaksud adalah seperti sikap, nilai, mental, moral, dan etika (Anderson & Krathwohl, 2002; Nuryani, 2005; Sudirman dkk, 1991 ) yang memerlukan sikap arif dan bijaksana dalam menyikapinya. Ini semua adalah suatu pendidikan bagi masyarakat (non formal) yang sangat perlu ditumbuh kembangkan.

Selanjutnya pada area pendidikan formal (sekolah), terutama para pendidik (guru, dosen, instruktur) juga harus pandai menyikapi masalah-masalah seperti ini, terutama guru biologi karena masalah tanaman transgenik sangat berkaitan langsung dengan bidang biologi. Untuk itu guru seyogyanya mengetahui dan mengikuti perkembangan tanaman transgenik tersebut. Dari sisi materi berdasarkan kurikulum masalah tanaman transgenik ini patut diajarkan sebagai suatu ilmu karena memang secara kurikulum terkait dengan materi genetika ,bioteknologi, dan sistem pencernaan yang ada di kurikulum, khususnya di SMA dan perguruan tinggi (PP No 19 Tahun 2005; Syamsuri, 2007). Bahkan menurut Flores & Tobin (2002) menyatakan bahwa materi ini (makanan hasil transgenik) adalah topik bahasan biologi yang sangat menarik untuk dipelajari dan dapat meningkatkan serta kemampuan berpikir kritis (critical thinking) pada siswa. Oleh karena itu sudah selayaknya materi tentang perkembangan makanan tanaman transgenik diajarkan kepada siswa sebagai suatu pengayaan yang dilakukan oleh pengajar. Kemudian yang menyangkut kajian aspek bioetika, agama, hukum, filsafat, dan sosial-budaya juga perlu diberikan secara ringkas dan proporsional sesuai perkembangan yang ada. Aspek yang terakhir ini perlu diajarkan agar siswa mampu bersikap wajar dan proporsional terhadap tanaman transgenik tersebut. Selain itu kita harus memberikan dan menanamkan pembelajaran sikap dan pembentukan karakter kepada peserta didik sedini mugkin, karena masalah sikap (ranah afektif) ini sangat kurang diperhatikan dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan kita lebih cenderung mengurusi hanya masalah aspek kognitif saja.

2. Kajian bioetika terhadap penggunaan tanaman transgenik di Indonesia

Selain masalah sikap pro dan kontra yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan lingkungan, penggunaan tanaman transgenik juga menimbulkan masalah sosial-religius, menyangkut boleh tidaknya dikonsumsi menurut ajaran agama masing-masing, masalah etika, masalah ekonomi-politik yang harus dikaji secara mendalam. (Cahyadi, 2006). Seperti telah disampaikan di latar belakang, bahwasanya penggunaan produk transgenik juga berkaitan erat dengan etika pangan dan etika pembahasan mengenai penggunaan tanaman transgenik tidak lagi hanya berupa keamanan pangan, melainkan juga mempertimbangkan hak konsumen dan dampak lingkungan dari pengembangan dan komersialisasi GMO. Untuk itu pada bagian ini akan dipaparkan pandangan atau kajian dari aspek bioetika serta beberapa tinjauan yang terkait, seperti tinjauan aspek filsafat, hukum, sosial-budaya, dan agama terhadap penggunaan tanaman transgenik.

Kajian Bioetika

               Bioetika pada dasarnya membahas etika atau moral yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan. Pada awalnya bioetika dikemukakan oleh V.P. Potter dan merupakan ilmu yang digunakan untuk mempertahankan hidup dalam mengatasi kepunahan lingkungan dan mengatasi kepunahan manusia. Namun dalam perkembangannya, bioetika cenderung mengarah pada penanganan isu atau nilai etika yang timbul karena perkembangan iptek dan biomedis (Fitmawati, dkk, 2002).
  Dalam pengkajian ini, maka terlebih dahulu kita melihat pada makna dasar dari tanaman transgenik. Tanaman transgenik merupakan salah satu produk bioteknologi. Secara aksiologis, bioteknologi adalah teknik yang mengubah suatu bahan mentah melalui proses transformasi biologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat demi kelangsungan hidup manusia sepanjang hayatnya dengan tujuan akhir agar manusia dapat survive. Dengan adanya bioteknologi, juga memudahkan manusia dalam mengolah pertanian, dengan lahan yang sempit, ternyata tanaman yang dihasilkan lebih banyak dan berkualitas dari segi ukuran, rasa, mutu, serta tahan hama penyakit. Sedangkan di bidang kesehatan, sudah jelas dapat mengatasi penyakit dengan melakukan pengubahan terhadap susunan gen-gen yang termutasi. Produksi hormon insulin untuk pengidap diabetes mellitus juga adanya pra-Implantasi Genetik Diagnosis yang memungkinkan stem cells memproduksi sel-sel yang diacu karena kekurangan. Dengan kecerdasan, maka manusia dapat mencari dan mengembangkan ilmu, termasuk bioteknologi dan rekayasa genetika tanaman setinggi-tingginya demi kesejahteraan manusia sendiri. Hal ini sesuai fitrah bahwa semua yang ada dalam diri adalah pemberian-Nya, maka ilmu pengetahuan pun akan dapat sejalan dengan etika dan moral. 
    Namun setinggi apapun keilmuan kita, dan keinginan untuk mengembangkan ilmu, masih ada tanggung jawab moral kita yang harus diemban terhadap umat manusia dan lingkungan (alam). Seperti telah dikemukakan di atas, masih banyak pro dan kontra yang berkaitan dengan penggunaan tanaman transgenik yang berkaitan dengan bidang kesehatan, lingkungan, ekonomi, budaya dan politik. Hal tersebut hendaknya menjadikan ilmuwan menjadi arif dalam menyikapi penggunaan tanaman transgenik ini. Penggunaan tanaman transgenik yang menyebabkan penyakit pada diri manusia, hendaknya dihentikan, meskipun berkaitan dengan penelitian dan kemajuan ilmu bioteknologi, hal tersebut merupakan tantangan. Selain bertanggungjawab terhadap kesehatannya, manusia juga masih memilki tanggung jawab yang besar terhadap alam. Karena manusia hidup dari hubungan saling bergantung dengan alam. Apabila alam punah, apabila plasma nutfah yang ada di alam lenyap, maka bisa dipastikan manusia juga akan lenyap. Penggunaan dan distribusi besar-besaran  tanaman transgenik tanpa meneliti resikonya terhadap alam secara mendetail menyebabkan manusia menjadi tidak beretika terhadap alam. Industrialisasi tanaman transgenik yang tergesa-gesa, karena ingin mencapai kesejahteraan, sehingga mengesampingkan semua pertimbangan di atas juga tidak beretika. Karena efek domino yang ditimbulkan dalam jangka panjanglah yang harus dikaji dan diputuskan bagaimana penggunaannya. 

Mengutip pernyataan Nasoetion (1998 dalam Fazari, 2006) secanggih apapun teknologi pastilah akan berdampak terhadap lingkungan. "Setiap waktu ilmuwan akan mengadakan penelitian dia harus sadar akan kedudukannya sebagai manusia di bumi ini. Dia harus sadar bahwa ilmu pengetahuan yang dapat dikuasainya hanyalah sebagian kecil saja dari Al-Ilm, ilmu yang dikuasai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan bahwa ia hanya pesuruh-Nya di bumi ini yang diminta untuk menjaga keseimbangan antara mahluk yang ada di bumi ini", merupakan suatu falsafah yang baik tentang bagaimana kita menyikapi pengembangan ilmu dalam bidang rekayasa genetika (tanaman transgenik) ini.

Tinjauan Filsafat Mengenai Tanaman Transgenik

Secara ontologi tanaman transgenik adalah suatu produk rekayasa genetika melalui transformasi gen dari makhluk hidup lain ke dalam tanaman yang tujuannya untuk menghasilkan tanaman baru yang memiliki sifat unggul yang lebih baik dari tanaman sebelumnya. Secara epistemologi, proses pembuatan tanaman transgenik sebelum dilepas ke masyarakat telah melalui hasil penelitian yang panjang, studi kelayakan dan uji lapangan dengan pengawasan yang ketat, termasuk melalui analisis dampak lingkungan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Secara aksiologi: berdasarkan pendapat kelompok masyarakat yang pro dan kontra tanaman transgenik memiliki manfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk, tetapi manfaat tersebut belum teruji, apakah lebih besar manfaatnya atau kerugiannya,. secara filsafat masalah ini perlu dikaji lebih lanjut.

Kajian Hukum Mengenai Tanaman Transgenik

Di luar negeri telah dikeluarkan petunjuk dan rekomendasi mengenai bioteknologi dan keamanan pangan. Amerika Serikat melalui Food and Drug Administration (FDA) menangani khusus masalah tanaman transgenik. Badan ini membuat pedoman keamanan pangan yang bertujuan untuk memberikan kepastian bahwa produk baru (termasuk yang berasal dari hasil rekayasa genetika) sebelum dikomersialkan produk tersebut harus aman untuk dikonsumsi dan masalah keamanan pangan harus dukendalikan dengan baik. FDA akan melakukan telaah ulang terhadap produk asal tanaman transgenik apabila terdapat pengeluhan atau pengaduan dari publik yang disertai dengan data yang bersifat ilmiah. Gen yang ditransfer pada tanaman menghasilkan tanaman transgenik oleh FDA disepadankan dengan food additive yang dievaluasi secara substansi sepadan. Apabila bahan pangan baru diketahui secara substansial sepadan dengan bahan pangan yang telah ada, maka ketentuan keamanan bahan pangan tersebut sama dengan ketentuan bahan pangan aslinya. Kesepadanan substansial ditentukan berdasarkan : sifat fenotipik, Karekteristik molekuler, analisis kandungan nutrisi, sifat potensial toksisitas dan non-toksisitas, sifat alergen dan non-alergen, penggunaan kategori generaly regarded as save (GRAS) dan tidak melakukan pelabelan bahan pangan yang berasal dari tanaman transgenik.

Badan pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) memberikan beberapa petunjuk dan rekomendasi mengenai bioteknologi dan keamanan pangan, yaitu: 1) Peraturan mengenai keamanan pangan yang komprehensif dan diterapkan dengan baik merupakan hal yang penting untuk melindungi kesehatan konsumen dimana semua negara harus dapat menempatkan peraturan tersebut seimbang dengan perkembangan teknologi, 2) Penilaian kesamaan untuk produk rekayasa genetika hendaknya berdasarkan konsep substansial equivalen, 3) Pemindahan gen dari pangan yang menyebabkan alergi hendaknya dihindari kecuali telah terbukti bahwa gen yang dipindahkan tidak menunjukkan alergi, 4) Pemindahan gen dari bahan pangan yang mengandung alergen ke organisme lain tidak boleh dikomersialkan, 5) Senyawa alergen pangan dan sifat dari alergen yang menetapkan immuno genicity dianjurkan untuk diidentifikasi, 6) FAO akan mengadakan lokakarya untuk membahas dan memutuskan bilamana ada beberapa gen marka ketahanan antibiotik yang harus dihindarkan dari tanaman pangan komersial, 7) Perlu ada pangkalan data (data base) tentang pangan dari tanaman, mikroorganisme pangan, dan pakan, 8) Validasi metoda sangat diperlukan, 9) Negara berkembang harus dibantu dalam pendidikan dan pelatihan tentang keamanan pangan dan komponen pangan yang ditimbulkan oleh modifikasi genetik, 10) Perlu ditingkatkan riset untuk pengembangan metode untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan penilaian keamanan pangan untuk produk rekayasa genetik

Indonesia sendiri telah mengatur keamanan hayati dan keamanan pangan suatu produk pertanian hasil rekayasa genetik seperti tanaman transgenik. Sejak diterbitkan SK Mentan (No. 856/Kpts/HK330/9/1997), menurut Hartiko (2000), di Indonesia sudah ditanam 10 tanaman transgenik, antara lain jagung (4 jenis), kacang tanah, kapas (2 macam), kakao, kedelai, padi, tebu, tembakau, ubi jalar, dan kentang. Namun uji coba lapangan tanaman transgenik di Indonesia masih belum transparan. (Berita Bumi, Oktober 1999 dalam Susiyanti, 2003). Untuk lebih mengoptimalkan dan pengawasan pemantauan terhadap penggunaan tanaman transgenik, maka dibuat keputusan bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika Tanaman No. 998.I/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kptrs-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/1999; 015A/NmenegPHOR/09/1999. Keputusan bersama ini dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan keamanan pangan pemanfaatan produk pertanian hasil rekayasa genetika agar tidak merugikan, mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan lingkungan (Jaya, 2008).

Pemerintah selanjutnya melegalkan penanaman kapas transgenik jenis Bt melalui SK Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB/430/2/2001, untuk ditanam sebagai varietas unggul di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan. Namun keputusan tersebut, banyak ditentang oleh para aktifis lingkungan hidup. Empat lembaga non-pemerintah/LSM (KONPHALINDO, YLKI, PAN Indonesia, dan ICEL) terang-terangan menolak SK Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB/430/2/2001 tersebut tentang Pelepasan Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B sebagai Varietas Unggul, dan ditanam di tujuh kabupaten di Sulsel (Intisari, 2003 dalam Susiyanti, 2003). Hal ini dikarenakan penanaman kapas transgenik tersebut dinilai belum melalui prosedur analisa AMDAL (Analisisi Mengenai Dampak Lingkungan) yang dipersyaratakan bagi setiap pelepasan jenis hewan atau tanam baru. (Anonim, 2006).

Peraturan yang dibuat untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya transgenik ternyata ditemukan dilakukan oleh PT Monagro Kimia mengabaikan Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf No. B1882/MENLH09/2000 tertanggal 29 September 2000, yang menyatakan prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) harus dilakukan atas tanaman transgenik (Cahyadi, 2006). Sedangkan produk transgenik yang sebagian besar impor juga saat ini telah bercampur dengan produk lokal sehingga sulit dipisahkan dan dibedakan. Hal ini sebenarnya melanggar PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang mengharuskan produk transgenik diberi label sebelum diedarkan. (Anonim ,2008).

Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika, disebutkan sebelum produk beredar, perlu diberlakukan pengkajian resiko dan pengujian terlebih dahulu. Yang meliputi teknik perekayasaan, efikasi dan persyaratan keamanan hayati. Untuk proses itu, peraturan pemerintah tadi juga sudah menunjuk Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun sampai sekarang, tim ini belum juga terbentuk. Sehingga produk rekayasa genetika bebas beredar di pasaran.

Kajian Sosial Budaya Mengenai Tanaman Transgenik

Kajian tentang untung ruginya penggunaan tanaman transgenik dilihat dari unsur sosial-budaya masyarakat berkaitan erat dengan unsur ekonomi dan politik. Vandana Shiva, ahli keanekaan hayati dari India seperti dikutip Asiaweek mengatakan, produk rekayasa genetik yang dipatenkan oleh perusahaan (industri besar) dan diklaim dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan petani, sebaliknya justru berpotensi untuk meningkatkan kelaparan dan kemiskinan petani karena paten yang dilakukan akan membuat petani sulit mengakses benihnya. Semua harus dibayar mahal akibat ada royaltinya. Kemiskinan dan kelaparan lebih merupakan dampak ketimpangan konsumsi antara negara kaya dan miskin.

Dari segi politik, tanaman transgenik yang banyak dikembangkan di negara maju yang memiliki tingkat teknologi lebih tinggi membuat masyarakat di negara agraris yang sebagian besar adalah negara berkembang (developing countries) memiliki ketergantungan yang sangat besar pada negara maju. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan para ilmuwan di negara berkembang untuk berhati-hati pada penggunaan tanaman transgenik. Selain itu, perdebatan masyarakat dalam menggunakan tanaman transgenik juga berkaitan dengan adanya kearifan lokal terhadap penjagaan plasma nutfah di lokal daerahnya. Manusia merupakan agian dari ekosistem. Dan seperti halnya spesies lain, manusia merupakan obyek dari hukum-hukum alam yang tidak akan pernah berubah. Nilai moral inilah yang menyebabkan manusia sangat menjaga hubungannya dengan alam sekitar. Pada hakekatnya perbuatan yang membahayakan eksistensi alam, akan membahayakan eksistensi manusia itu sendiri.

5. Kajian Agama Mengenai Tanaman Transgenik

Kajian agama yang ditemukan mengenai penggunaan tanaman transgenik adalah dari kajian agama Islam, agama Hindu dan dari kajian agama Yahudi. Pemeluk agama Islam pada dasarnya tidak keberatan dengan penggunaan tanaman transgenik, mengingat manfaatnya yang lebih besar daripada mudharatnya. Namun penggunaan itu harus dilakukan hati-hati mengingat gen yang ditransfer dapat berasal dari organisme tanaman lain atau justru hewan lain. Sepanjang gen asal tidak berasal dari hewan yang diharamkan, akan diperbolehkan. Tidak seperti kasus penyedap rasa (monosodium glutamat) yang diproduksi dengan menggunakan enzim yang diisolasi dari gen babi pada awal tahun 2001 yang dikategorikan sebagai haram. Adapun MUI sendiri belum mengeluarkan fatwa mengenai penggunaan tanaman transgenik, namun prinsip kehati-hatian selalu diutamakan. Status GMO akan halal sepanjang sumber gen dan seluruh proses rekayasanya halal (Republika, 2004 dalam Cahyadi, 2006).

Menurut kajian agama Hindu bahwa tanaman transgenik salah satunya disinyalir dapat menyebabkan terputusnya rantai ekosistem karena sifatnya yang resisten, ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan. Ketidakseimbangan lingkungan atau terganggunya homeostasis sangat bertentangan dengan konsep “Tri Hita Karana“ yaitu suatu konsep yang merupakan ajaran dalam agama Hindu yang pada prinsipnya mengajarkan adaya keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Ini berarti ada tingkat tropik tertentu yang mati atau berkurang, dengan demikian berarti membunuh organisme tertentu yang tidak diharapkan. Ini juga bertentangan dengan konsep ajaran “ Ahimsa “ dalam agama Hindu yang berarti tidak boleh membunuh organisme secara sembarangan tanpa tujuan yang jelas, apalagi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan lingkungan yang akan membawa malapetaka dan bencana bagi umat manusia (Karmana, 2009). Agama Yahudi yang mensyaratkan pemeluknya untuk mengkonsumsi makanan yang kosher (Kosher law) , mengijinkan penyisipan gen dari sumber makanan yang non-kosher sepanjang tidak merubah rasa dan penampakan.

Demikianlah paparan tulisan ini yang pada dasarnya mencoba untuk membahas mengenai tanaman transgenik yang merupakan salah satu produk kemajuan bioteknologi dari aspek ilmu biologi dan aspek pendidikan dalam arti luas terutama terkait dengan sikap masyarakat (pendidikan non formal) dan sikap pengajar atau guru (pendidikan formal) terhadap penggunaan tanaman transgenik. Selain itu juga memaparkan dan mengkaji penggunaan tanaman transgenik tersebut dari aspek kajian bioetika dan beberapa tinjauan yang terkait seperti aspek filsafat, hukum, sosial-budaya, dan agama.

PEMBAHASAN

Organisme hasil rekayasa genetika atau transgenik adalah organisme yang telah mengalami rekayasa genetika melalui teknologi pemindahan atau transfer sebuah atau lebih gen antara spesies yang sama atau yang berbeda (Winarno, 2002; Muladno, 2002). Menurut pengertian yang disitasi dari BPPT (2000 dalam Susiyanti, 2003), transgenik dapat didefinisikan sebagai the use of gene manipulation to permanently modify the cell or germ cells of organism. Organisme yang direkayasa genetika ini dapat meliputi hewan, tanaman dan mikroorganisme. Pada tanaman, karena berisi transgene tadi, tanaman itu disebut genetically modified crops (GM crops), atau organisme yang mengalami rekayasa genetika (genetically modified organisms, GMOs). Tanaman transgenik merupakan tanaman yang dihasilkan dengan cara mengintroduksi gen tertentu ke dalam tubuh tanaman sehingga diperoleh sifat yang diinginkan. Sifat yang diinginkan tersebut seperti resistensi terhadap penyakit, tahan terhadap kekeringan, dan pertambahan kandungan gizi (Brandner, 2002; Muladno, 2002)). Sebagai contoh adalah jagung Bt, dimana jagung ini disisipi gen bakteri Bacillus thuringiensis yang mampu memproduksi kristal protein untuk membunuh serangga pengganggu sehingga jagung ini lebih tahan terhadap serangan hama. Contoh lain adalah beras golden rice yang disisipi gen untuk memproduksi beta karoten sehingga meningkatkan nilai nutrisi beras (Motulo dalam Darmasiwi, 2007). Selain itu ada kapas, ubi jalar, kedelai, kentang gula bit, dan tomat (Brandner, 2002). Jenis-jenis tanaman transgenik tersebut diantaranya adalah kelompok tanaman tahan hama, toleran herbisida, tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta tanaman dengan produktivitas lebih tinggi.

Tanaman transgenik memiliki beberapa keuntungan seperti: (1) dari aspek pertanaian (agriculteure) dapat meningkatkan hasil atau produksi, (2) dari aspek lingkungan dapat mengurangi penggunaan pestisida, herbisida, (3) aspek gizi mampu meningkatkan kualitas bahan makanan, dan (4) aspek kesehatan mampu mencegah penyakit yang menyebar melalui makanan seperti vaksin-vaksin.. Sedangkan kerugian atau resikonya antara lain: dapat menimbulkan alergi dan keracunan, merusak lingkungan, resistensi antibiotik, penyebaran gen-gen tertentu kepada tanaman non-sasaran melalui persilangan dan pemencaran (Brandner, 2002). Selanjutnya untuk dapat mendeteksi makanan yang dihasilkan dari transgenik biasanya dilakukan dengan metode uji ELISA (ImmunoSorbent Enzym Linked Assay) dan uji DNA. Teknik uji ELISA biayanya lebih murah dibanding dengan uji DNA, menawarkan hasil lebih cepat dan dapat dilaksanakan di tempat. Kelemahannya adalah tidak dapat bekerja baik pada makanan yang diproses karena panas, karena dapat menghancurkan protein. Berbeda dengan uji DNA yang lebih mahal, tidak bisa dilaksanakan di satu tempat dan memerlukan waktu beberapa jam sampai selesainya, tetapi lebih akurat (Brandner, 2002)

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai tanaman transgenik, sikap masyarakat dan kajian aspek bioetika di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Sikap pro masyarakat terhadap penggunaan tanaman transgenik berkaitan dengan keuntungan dari segi kemanfaatan pada bidang pertanian dan kesehatan, sedangkan sikap kontra tanaman transgenik berkaitan dengan uji keamanan pangan untuk kesehatan dan keamanan aspek lingkungan.

2. Secara bioetika, penggunaan tanaman transgenik meskipun dapat meningkatkan kualitas hidup namun harus dievaluasi dengan hati-hati dengan mempertimbangkan aspek hukum (legal), aspek sosial budaya (termasuk faktor ekonomi dan politik), dan aspek etika terhadap lingkungan.

3. Tanaman transgenik adalah tanaman hasil rekayasa gen dengan cara disisipi satu atau sejumlah gen (transgene) yang dapat diisolasi dari tanaman tidak sekerabat atau spesies yang lain sama sekali.

4. Para guru dan pendidik perlu mengajarkan materi tentang tanaman transgenik kepada siswa sebagai materi pengayaan biologi terutama pada pokok bahasan substansi materi genetik, bioteknologi, dan sistem pencernaan termasuk aspek kajian bioetikanya.

Saran

Terkait dengan simpulan di atas, maka disarankan agar masyarakat mengambil sikap atau merespon tanaman transgenik tersebut secara wajar, realistis dan proporsional dengan mempertimbangkan aspek agama, legalitas (hukum), kesehatan, sosial-ekonomi, perkembangan iptek, dan aspek etika lingkungan. (bioetika)

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (Ed). 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing. New York: Addison Wesley Longman,Inc.

Anonim. 2001. Tanaman Transgenik dan UU Varietas Tanaman: Kontroversi Tiada Akhir. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0111/26/ipt01.html. Tanggal akses: 10 April 2009

Anonim, 2006. Menimbang Tanaman Transgenik. http://sendaljepit.wordpress.com/2006/08/08/menimbang-tanaman-transgenik/. Tanggal akses: 10 April 2009

Anonim, 2008. Kedelai Transgenik yang Unik. http://www.indosiar.com/news/anda-perlu-tahu/68021/kedelai-transgenik-yang-unik. Tanggal akses: 10 April 2009

Brandner, D.L. 2002. Detection of Genetically Modified Food: Has Your Food Been Genetically Modified?. The American Biology Teacher. 64 (6): 433-442.

Cahyadi, F. 2006. Dampak Lingkungan Tanaman Transgenik. http://www.satudunia.net/node/1178. Tanggal akses: 10 April 2009

Darmasiwi, S. 2007. Amankah Mengkonsumsi Tanaman Transgenik? http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1626834-amankah-mengkonsumsi-tanaman-transgenik/. Tanggal akses: 25 April 2009

Elrod, S. & Stansfield, W. 2007. Genetika. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Fitmawati, dkk. 2002. Bioetika Dalam Pemanfaatan Keanekaragaman Plasma Nutfah Tumbuhan. http://tumoutou.net/702_05123/group4_123.htm. Tanggal akses: 25 April 2009.

Flores, & Tobin, A.J. 2002. Genetically Modified Food and Teaching Critical Thinking.The American Biology Teacher, 65 (3): 180-184

Goya dkk (2010). Bioteknologi pangan Dampak negatif bioteknologi pada tanaman. Jurusan teknologi hasil pertanian Fakultas teknologi pertanian Universitas brawijaya Malang. (Makalah Seminar Nasional tidak dipublikasikan)

Irawan, A. 2006. Ancaman dan Harapan Dari Komoditas Transgenik. KORAN TEMPO Edisi 2006-08-06. http://209.85.175.104/search?q=cache:ci_gKEOM2dwJ:wap.korantempo.com/view_details.php%3Fidedisi%3D2244%26idcategory%3D90%26idkoran%3D78754%26y%3D2006%26m%3D08%26d%3D06+filosofis+transgenik&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id. Tanggal akses: 7 Mei 2009

Jaya, H. 2008. Bahayakah Tumbuhan Transgenik. http://hendra-jaya.blogspot.com/2008_01_13_archive.html. Tanggal akses 7 Mei 2009

Kompas, 2000. Menyelamatkan Bumi dari Serbuan Transgenik. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0001/30/IPTEK/meny04.htm.

Tanggal akses: 7 Mei 2009

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.

Nuryani, R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: UM-Press.

Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Ronauli, I. 2004. Tolak Penggunaan Tanaman Transgenik di Indonesia. http://www.beritabumi.or.id/berita3.php?idberita=49. Tanggal akses: 7 Mei 2009

Ronauli, I. 2007. Ketergesa-gesaan yang Menuai Badai. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4861&coid=1&caid=24&gid=1. Tanggal akses: 14 Mei 2009

Sudirman dkk. 1991. Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Susiyanti, 2003. Pro dan Kontra Tanaman Transgenik. http://tumoutou.net/702_07134/susiyanti.htm. Tanggal akses: 14 Mei 2009

Suwanto, A. 2000. Menyikapi Tanaman Transgenik. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0002/04/IPTEK/meny09.htm. Tanggal akses: 21 Mei 2008

Syamsuri, I. 2007. Biologi Jilid 1 dan 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Widodo, W. D. Tanpa tahun. Transgenetika, Ancaman Atau Peluang. http://www.geocities.com/wd_widodo/tulisan/agrobog040830c.htmlTanggal akses: 21 Mei 2009

Winarno, F.G. 2002. Pengantar Bioteknologi. Bogor: M-Brio Press.