Minggu, 28 Juni 2009





MAKALAH DAN ANALISIS KRITIS ARTIKEL
BUNUH DIRI & REMAJA SEKSUAL
APA YANG DILAKUKAN GURU BIOLOGI UNTUK MEMBANTUNYA?
Oleh: Mice U. Smith & Mary Ann Drake
Di analisis dan dipresentasikan oleh Muhammad Nasir Tamalene
Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang Program Studi Pendidikan Biologi


PENGANTAR

Persoalan hidup masa kini semakin kompleks. Kehidupan di rumah tangga ataupun tempat kerja diwarnai persoalan perilaku yang menyimpang dari ukuran normal. Salah satu penyimpangan yang makin banyak terjadi adalah penyimpangan seksual. Ibu rumah tangga yang mengalami perkawinan normal pun akhirnya jatuh ke pelukan sesama jenis
Priastana, (2008) mengemukakan bahwa zaman sekarang yang ditandai oleh perubahaan pesat di dalam banyak bidang kehidupan disamping kemajuan juga mendatangkan kegelisahan. Dengan kemajuan komunikasi dan informasi dunia menjadi kecil, sejalan dengan itu timbulah masalah kegelisahan yang menyangkut masalah moral. Banyak orang merasa tidak punya pegangan lagi tentang norma kehidupan. Bunuh diri egoistic dan anomic yang disebut Emile Durkhein yang melanda kehidupan manusia modern merupakan ciri dari kosongnya norma moral dan makna kebersamaan.
Kita dapat membedakan masalah moral yang menyangkut individu dengan masalah moral yang menyangkut hidup dan urusan orang banyak. Moral individu juga punya kaitan dengan orang lain, tetapi kaitan itu tidak sekuat pada moral social yang langsung menyangkut orang banyak. Moralitas mastubasi misalnya, tidak menyangkut banyak orang lain bila dibandingkan dengan moralitas system politik atau system ekonomi.
Dalam situasi perubahan dan kegelisahan yang serba tidak pasti ini, maka etika sangat dibutuhkan guna dapat menemukan patokan bertindak. Pada umumnya terdapat tiga system norma moral yang dijadikan patokan, yakni norma berdasarkan keyakinan akan kewajiban mutlak (deontologis); norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis); atau norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain (relasional).
Pada umumnya, manusia memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, atau sebaliknya, wanita tertarik pada pria. Mereka jamak disebut sebagai kaum heteroseks. Namun, pada orang-orang tertentu orientasi seks macam itu tidak ada atau berkadar kecil. Mereka justru (lebih) tertarik pada orang-orang sejenis. Bila pria, mereka tertarik pada sesama kaum Adam. Umumnya mereka disebut gay. Sebaliknya, yang wanita tertarik pada sesama kaum Hawa. Wanita dengan orientasi seks seperti ini disebut lesbian. Gay dan lesbian inilah yang kemudian dikelompokkan dalam kaum homoseks (Kompas Cyber Media, 2006)
Perilaku homoseksual dapat bermanifestasi sebagai pola preferensi pasangan erotik (pembangkit libido) yang tidak pernah mengenal atau merasakan bangkitan erotik oleh pasangan berjenis kelamin lain. Semua minat afeksi (alam perasaan) dan genital (daerah erotik) tertuju pada pasangan sejenis kelamin. Perilaku macam ini dikenal sebagai homoseksual overt atau eksklusif. Pelakunya sadar akan nafsu homoseksualnya dan tidak berusaha menutupinya.
Di antara homoseksual eksklusif (homoseksual sejati) dan heteroseksual eksklusif (heteroseksual sejati) terdapat homoseksual dan heteroseksual dengan kadar berbeda. Seorang heteroseksual sejati tertarik dan terangsang hanya terhadap lawan jenis. Namun, ada pula heteroseks yang tertarik kepada sesama jenis, hanya saja kadar ketertarikannya sangat kecil sehingga hampir tak berarti. Seorang wanita heteroseks misalnya, mungkin saja mengagumi wanita seksi. Atau, pria heteroseks mungkin pula mengagumi pria lain yang berotot. Namun, bila seseorang mempunyai rasa kagum, tertarik, dan terangsang terhadap sesama jenis jauh lebih dominan, dia sudah dapat disebut homoseks.
Jutfiq, (2005) menyampaikan bahwa homoseksual merupakan kasus moral yang terus mengguncang dan memicu kontroversi hebat di Barat hingga saat ini. Dunia Barat, bahkan kalangan Gereja Kristen, kini diguncang hebat dalam soal penentuan batas-batas moral soal homoseksualitas. Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik kotor dan maksiat, oleh agama-agama, justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan HAM.
Perkembangan kasus homoseksualitas di Barat sangat menarik. Pemimpin-pemimpin Gereja terdesak opininya, karena sebagian pemuka Kristen dan cendekiawanannya pun sudah mendukung dan menjadi pelaku homoseksual atau lesbianisme. Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen juga berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan oleh Gereja
Dalam kacamata awam, saya tahu bahwa sejak lama homoseksualitas atau orientasi seks dan cinta terhadap sesama jenis kelamin, diperbincangan. Homoseksualitas bukan sesuatu yang baru. Dalam makalah ini saya menyumbang sedikit pemahaman berdasarkan analisis kritis artikel dan sumber-sumber yang dianggap memenuhi syarat untuk dianalisis tentang homoseksualitas yang selama ini lebih banyak dilihat dari psikologi. Sudut pandang materialis historis digunakan untuk melihat seks lebih sebagai praktik sosial yang punya hubungan timbal-balik dengan tatanan sosial-ekonomi tempat seksualitas bermakna secara historis daripada seks sebagai dorongan psikobiologis semata karena nyatanya kajian sejarah menemukan bahwa pelembagaan praktik-praktik seksual tidaklah sama dan seragam sepanjang masa di semua tempat.
Dalam melihat homoseksualitas pada umumnya, saya akan menganalisisnya berdasarkan seksualitas dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan materialis atas sejarah, praktik dan ideologi seksual tidak bisa lepas dari konteks material masyarakatnya. Konteks material terpenting dalam hubungan manusia dengan alam adalah produksi dan reproduksi kebutuhan material.


BAGIAN I. PAPARAN ISI ARTIKEL

Bunuh Diri dan Remaja Homoseksual
Bagi sebagian besar anak usia belasan tahun dalam masyarakat Amerika modern, masa remaja adalah masa yang sulit, penuh perubahan dan tantangan. Perubahan-perubahan di sekolah, perubahan-perubahan dalam hubungannya bersama teman sebayanya, renegosiasi perannya dalam keluarga, dan perubahan-perubahan fisik yang menyertai masa pubertas semuanya saling bertabrakan satu sama lain. Yang terpenting, tugas perkembangan krusial masa remaja adalah pembentukan identitas personal–pemahaman mengenai diri, sistem nilai personal, dan tempat independen dalam masyarakat (Erikson 1950).
Anak usia belasan tahun yang memiliki kegembiraan dan skill penanggulangan yang baik biasanya berlayar melalui lautan badai dengan kesulitan kecil, namun sebagian anak usia belasan tahun yang merasa khawatir akan merasa stres pada masa ini dengan berusaha untuk bunuh diri. Menurut data terbaru, bunuh diri adalah penyebab utama kedelapan dari kematian di antara orang Amerika semua usia namun ini adalah penyebab utama ketiga dari kematian di antara remaja usia 15-24 tahun dan penyebab utama kedua kematian di antara pria kulit putih dalam kelompok ini (Martin dan rekan-rekannya, 1999). Pada tahun 1998, 4.003 remaja berusia 15 sampai 24 tahun mengakhiri hidupnya, dan para ahli memperkirakan bahwa sebanyak 200 kali jumlah itu tidak berhasil melakukan usaha bunuh diri (Hawton 1986). Enam sampai 13% anak usia belasan tahun melaporkan bahwa mereka berusaha bunuh diri setidaknya sekali (Centers for Disease Control and Prevention, 1991; Gallup Organization 1991; Garofalo, Wolf, Wissow, Woods & Goodman, 1999). Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa kejadian bunuh diri di antara para remaja dan anak muda hampir terjadi tiga kali lipat besarnya dari tahun 1952 sampai 1995, sedangkan tingkat bunuh diri seluruhnya di Amerika Serikat naik kurang dari 20% (Hershberger, Pilkington, & D’Augelli 1997; National Center for Injury Prevention and Control).
Satu dari beberapa tugas pokok bagi anak belasan tahun dalam mencari identitas personalnya adalah dengan mencari identitas seksualnya. Dalam studi terbaru yang lebih dari satu kuartal terhadap anak usia 12 tahun merasa ragu-ragu tentang orientasi seksualnya (vs. 5% anak usia 18 tahun). (Remafedi dan rekan-rekannya, 1992). Yang bertentangan dengan keraguan ini, yang kebanyakan adalah individu gay, lesbian, dan biseksual (GLB), lebih dahulu mengetahui orientasi seksual pada usia 10 tahun, dengan pelabelan orientasi seksual seputar usia 14 sampai 15 tahun (D’Augelli & Hershberger, 1993).
Meskipun sebagian besar anak remaja GLB juga belajar menanggulangi tekanan perkembangan identitas dan menjadi orang dewasa yang sehat, namun beberapa survei terpublikasi melaporkan bahwa 20% sampai 66% responden homoseksual berusaha untuk bunuh diri setidaknya sekali, dengan rata sekitar sepertiga (Bagley & Trembley, 1997b). Remaja gay berjumlah 30 sampai 50% dari semua usaha bunuh diri di antara remaja Amerika – kira-kira satu setiap enam jam (Gibson 1989).
Baru-baru ini pertanyaan apakah remaja GLB berisiko tinggi untuk bunuh diri adalah sebuah persoalan yang masih diperdebatkan. Meskipun 10 studi review-teman sebaya menemukan tingkat usaha bunuh diri yang tinggi di antara remaja GLB (dari 20 sampai 67%), generalisasi studi-studi tersebut ditanyakan sebab bias potensial dalam sampel yang baik digunakan, dengan bergantung pada desain retrospeksinya, dan lain sebagainya. Namun demikian, studi terbaru menggunakan sampling berbasis-populasi (kebanyakan sebagai bagian dari CDC Youth risk Behavior Survei di beberapa negara). Remaja GLB dalam studi-studi tersebut melaporkan adanya usaha untuk bunuh diri sebanyak 2 sampai 14 kali lebih banyak daripada heteroseksual, dan ini memperkuat temuan-temuan sebelumnya (lihat misalnya, DuRant, Krowchuk & Sional 1998; Faulkner & Cranston 1998; Garofalo dan rekan-rekannya, 1999; Remafedi dan rekan-rekannya, 1998). Dua studi terbaru dalam kelompok berbasis-populasi besar menunjukkan bahwa risiko usaha bunuh diri bagi kaum homoseksual kira-kira enam kali banyaknya daripada teman sebaya lainnya (Fergusson, Horwood & Beautrais 1999; Herrell dan rekan-rekannya, 1999).
Remaja GLB juga membuat usaha bunuh diri yang lebih mematikan daripada teman sebaya heteroseksualnya. Lebih dari satu dalam lima usaha bunuh diri GLB yang dipelajari oleh remafedi, Farrow dan Deisher (1991) menghasilkan hospitalisasi medis atau psikiatris, berbanding angka 1 sampai 2% yang dilaporkan dalam beberapa studi terbaru usaha bunuh diri remaja (Centers for Disease Control 1991; Meehan dan rekan-rekannya, 1992). Remaja GLB juga memiliki nilai tinggi dalam pengulangan usaha bunuh dirinya (20 sampai 52%) (Nicholas & Howard, 1998).
Sebagai ringkasan, nampaknya terdapat sedikit pertanyaan bahwa remaja GLB dalam kelas kami dan juga remaja yang menanyakan orientasi seksualnya memiliki risiko yang besar dalam usaha untuk bunuh diri. Menurut fakta, bagi remaja homoseksual Amerika, risiko usaha bunuh diri mungkin adalah lebih tinggi daripada risiko terjangkit penyakit HIV!

Kehidupan Remaja Gay/Lesbian/Biseksual
Seperti apa remaja gay, lesbian, atau biseksual di sekolah Anda? Bagi sebagian besar mereka, itu adalah suatu kehidupan yang penuh dengan celaan, penolakan, pengasingan, diskriminasi dan perlakuan kejam. Beberapa survei sampel berbasis-komunitas remaja GLB menunjukkan bahwa sebanyak 80% responden dilecehkan secara verbal, 43% dilempar dengan benda, 17% diserang secara fisik, dan 10% diserang dengan senjata – semuanya adalah karena orientasi seksualnya. Hampir separuh (40%) dari satu sampel melaporkan bahwa makian verbal terjadi setiap hari (D’Augelli & Hershberger, 1993; Pilkington & D’Augelli 1995). Dalam survei berbasis-populasi terbaru di Massachusetts (Faulkner & Cranston 1998), para siswa yang melaporkan bahwa mereka memiliki perilaku seks-sejenis adalah 3.4 kali lebih mungkin sama seperti teman sebayanya yang bolos sekolah karena mereka merasa tidak aman, 5.5 kali lebih mungkin dapat teman sebayanya yang diancam atau dilukai dengan senjata di sekolahnya sebanyak 4 kali atau lebih, dan 2.9 kali lebih mungkin seperti teman sebayanya yang dipukul di sekolah. 28% remaja homoseksual keluar dari sekolah menengah sebab merasa tidak nyaman dan takut (Remafedi, 1987). Sebanyak separuh responden GLB dalam studi-studi lain melaporkan bahwa mereka mendengarkan bahwa guru atau staf sekolah lainnya membuat ucapan homophobic (Massachusetts Governor’s Commission on Gay & Lesbian Youth 1993). Remaja homoseksual merasa tidak aman di rumah – 40% dari responden Pilkington dan D’Auglelli (1995) melaporkan bahwa mereka mengalami makian verbal dari anggota keluarga, dan 10% melaporkan bahwa mereka diserang secara fisik oleh anggota keluarga. Kevin Jennings, direktur eksekutif Gay, Lesbian & Straight Education Network, menyebut hal ini sebagai “epidemik pelecehan dan kekerasan: (Parvin 1999).
Sikap negatif ke arah homoseksual dan bahkan diskriminasi tentu saja telah tersebar luas dalam masyarakat Amerika. Poling Gallup tahun 1998 menampakkan bahwa mayoritas orang Amerika (59%) percaya bahwa homoseksualitas adalah keliru ditinjau dari sudut pandang moral (Newport 1998). 98% dari responden berusia 15 sampai 19 tahun dalam survei nasional 1998 setuju bahwa melakukan hubungan seksual antara dua pria adalah “menjijikkan”, dan hanya 12% saja yang merasa percaya bahwa mereka dapat berteman dengan orang gay (Marsiglio, 1993). Kasus terbaru Matthew Shepherd menunjukkan adanya seorang remaja gay yang diikat pada sebuah pagar, lalu ditembak dengan pistol, dan ditinggalkan mati oleh dua remaja pria lainnya.
Data tersebut melukiskan gambaran kekejaman hidup banyak remaja GLB. Dengan kata lain, adalah mudah untuk memahami mengapa remaja GLB kerap merespons depresi, kegelisahan, kekejaman, dan kurangnya penghargaan-diri, yang semuanya dapat memberikan kontribusi terhadap keputusan untuk melakukan usaha bunuh diri. Kebanyakan remaja GLB berusaha untuk menyembunyikan orientasi seksualnya sebab mereka melihat bagaimana kaum gay diperlakukan. Remaja tersebut kerap kali memiliki rasa emosional yang lebih tinggi daripada remaja gay, sebab kemunculan kehidupan ganda memerlukan energi emosional yang cukup besar. Remaja yang mengadakan rapat tertutup juga hidup dengan ketakutan konstan untuk ditemukan oleh orang lain atau “tidak diterima” oleh orang-orang yang mengetahui rahasianya. Selain itu, remaja tersebut kerap kali diacuhkan oleh beberapa anggota keluarga dan orang lain (misalnya, Mom atau Sis mengetahui namun ayahnya tidak), dan rahasia ini memberikan kontribusi terhadap kerusakan hubungan keluarga yang cukup berpengaruh buruk.

Sifat atau Pemeliharaan?
Langkah pertama terhadap kemampuan untuk membantu para siswa tersebut adalah dengan memahami lebih banyak tentang mereka. Satu dari beberapa pertanyaan terlazim tentang homoseksual yang terdengar saat ini adalah apakah orientasi seksual ditentukan oleh genetika atau oleh pengasuhan awal dan pengaruh masyarakat (sifat vs. pemeliharaan). Misalnya, homoseksual pria dipercaya sebagai hasil dari kepemilikan ibu “yang kuat” dan ayah yang “lemah”. Studi-studi ilmiah terbaru menunjukkan bahwa orientasi homoseksual tidak disebabkan oleh kondisi-kondisi yang merugikan dalam pemeliharaan, seperti parenting abnormal, kekejaman seksual dan lain sebagainya (Bell, Weinberg & Hammersmith, 1981; Ramefedi, 1990).
Poling terbaru menunjukkan bahwa orang Amerika lebih condong pada penjelasan “pemeliharaan” bukan “sifat” untuk orientasi seksualnya dengan marjin 47 banding 31% (Newport 1998). Dalam poling Newsweek (Leland & Miller 1998), proporsi orang Amerika yang sama (33%) percaya bahwa homoseksualitas adalah “sesuatu yang orang-orang munculkan, bukan hasil dari pemeliharaan atau pengaruh lingkungan”. Proporsi orang Amerika yang menerima sebuah penjelasan genetika (hanya 13% pada tahun 1977) meningkat substansial sepanjang waktu. Yang bertentangan, 75% responden gay dalam poling Newsweek terbaru menyokong posisi “sifat” tersebut.

Sifat/Genetika
Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa bagian substansial orientasi seksual dapat dijelaskan oleh keturunan. Penemuan LeVay (1991) atas perbedaan-perbedaan fisik dalam otak otopsi pria homoseksual berbanding pria heteroseksual, misalnya, menerima banyak perhatian meskipun semua pria gay dalam studi ini meninggal dunia karena terjangkit penyakit AIDS, yang dapat menyebabkan dimorfisme. Untuk diskusi lanjutan tentang persoalan dalam interpretasi penelitian ini, lihat Bryne & Parsons 1993; Hamer & Copeland 1994).
Dua studi itu telah menjadi alat yang disukai oleh ahli genetika untuk menentukan heritabilitas sebuah karakteristik. Jika ciri ditentukan secara genetika, maka kembar identik (monosygot – MZ) diduga bisa memiliki ciri itu (sesuai), sedangkan kesesuaian antara kembar fraternal (dizygot – DZ) diduga tidak memiliki ciri itu, dengan perkiraan kesesuaian individu-individu yang tak terkait seperti saudara kandung yang diadopsi. Penggabungan hasil-hasil tujuh studi kembar terbaru menampakkan bahwa 141 dari 244 pasangan MZ (58%) yang salah satu kembarannya adalah homoseksual adalah sesuai untuk orientasi seksualnya dibandingkan dengan 32 dari 175 pasangan DZ (18%). Kesesuaian di antara saudara laki-laki homoseksual yang diadopsi, yang dicakup dalam salah satu studi (Bailey & Pillard, 1991) adalah 11%. Sebagian laporan yang tersedia atas kembar MZ itu menunjukkan bahwa kesesuaian untuk homoseksual adalah sama dengan kesesuaian untuk kembar MZ yang diangkat bersama-sama (Eckert dan rekan-rekannya, 1986; Whitam, Diamond, & Martin, 1993). Sejumlah besar kembar identik yang keduanya homoseksual, berbanding dengan frekuensi rendah kembar fraternal sesuai yang sama dengan saudara kandung yang diadopsi, sangat mendukung kesimpulan bahwa homoseksualitas memiliki komponen keturunan yang besar. Berdasarkan pada data tersebut, Pillar dan Bailey (1998) memperhitungkan heritabilitas orientasi seksual yang berkisar antara .32 dan .74 (di luar 1.0).
Bukti terkuat yang mendukung determinasi genetika dalam orientasi homoseksual berasal dari penelitian Hamer (Hamer & Copeland 1994; Hamer dan rekan-rekannya, 1993) yang menjalankan studi-studi genetika molekuler dalam kromosom 40 pasangan saudara laki-laki gay. Di antara saudara kandung tersebut, angka statistik signifikan – 33 pasangan – menerima daerah serupa kromosom X-nya )q28) dari ibunya (hanya 20 yang diduga kebetulan terjadi). Jadi, tidak hanya Hamer saja yang menemukan bukti yang mendukung heritabilitas genetika dalam orientasi homoseksual di antara pria tersebut, namun ia juga memetakan penetapan lokus (kadang-kadang disebut sebagai “gen gay”) dalam kromosom X, yang menjelaskan observasi-observasi awal bahwa homoseksual cenderung terjadi dalam pola terkait-X dalam beberapa keluarga. Riset ini dikritik luas dalam sejumlah pernyataan, khususnya seleksi pasangan saudara kandung yang pola terkait-X dalam turunan homoseksualnya nampaknya bersifat a priori. Tanpa memandang kritikan tersebut, penelitian Hamer sekarang ini diakui secara luas sebagai penelitian yang mendukung kesimpulan bahwa dalam beberapa keluarga, orientasi homoseksual memiliki komponen turunan yang kuat.

Pemeliharaan/Lingkungan
Terdapat juga bukti luas yang menunjukkan bahwa faktor non-genetika memainkan peran penting dalam menentukan orientasi seksualnya dalam banyak kasus. Misalnya, meskipun 11% kesesuaian untuk homoseksualitas di antara saudara laki-laki adopsi dalam studi kembar Bailer dan Pillard (1991) yang disebutkan di atas adalah kurang dari 18% tingkat kesesuaian kembar DZ yang diperoleh dengan menggabungkan semua studi, tingkat saudara laki-laki adopsi banyaknya daripada kejadian homoseksualitas dalam populasi luas sebanyak dua kali lipat (atau mungkin tiga kali lipat), tergantung pada estimasi yang digunakan. Mengingat bahwa kembar DZ secara genetika tidak mungkin bersifat homoseksual daripada dua saudara kandung, perbedaan ini dianggap berasal dari lingkungan. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa kemungkinan besar pria untuk menjadi gay adalah sama dengan jumlah saudara laki-laki yang lebih tua dalam keluarganya (faktor non-genetika) (Blanchard & Bogaert, 1996), yang dapat dikaitkan dengan penampakan hormon prenatal diferensial (Pillard & Bailey 1998).

Model Biopsikososial dalam Determinasi Orientasi Seksual
Berdasarkan pada pertimbangan bukti yang ditunjukkan, ahli genetika perilaku modern pada umumnya menyukai model biopsikososial dalam orientasi seksual: ini ditentukan oleh kombinasi faktor genetika dan lingkungan (Huwiler & Remafedi 1998). Selain itu, pengaruh-pengaruh genetika bisa jadi adalah lebih penting dalam beberapa keluarga daripada dalam yang lainnya. Pandangan ini adalah sesuai dengan genetika modern yang menunjukkan bahwa, bertentangan dengan pemahaman sederhana mengenai turunan Mendelian dalam kacang polong kebun dan lalat buah-buahan yang kita ajarkan pada sebagian besar siswa biologi sekolah tinggi, mayoritas ciri manusia adalah poligenik (ditentukan sesuai dengan beberapa gen berbeda) dan multifaktorial (dipengaruhi oleh banyak faktor genetika dan non-genetika). Diktum utama dalam pemahaman ini yakni DNA (genetika) seseorang menentukan kapasitas untuk mengungkapkan sebuah ciri; lingkungan menentukan sejauh mana ciri itu diungkapkan. Pandangan modern atas keturunan ini tidaklah kuat, setidaknya di Amerika Serikat. Hanya 6% dari beberapa responden pada poling Gallup (Newport 1998) saja yang memperkuat posisi bahwa sifat dan pemeliharaan menentukan orientasi seksual. Di sisi lain, ketika ditanya apakah homoseksualitas selalu disebabkan oleh kelahiran seseorang,” “selalu disebabkan oleh faktor seperti pemeliharaan atau lingkungan”, atau jika ini “bergantung pada orang itu”, 63% memperkuat opsi ketiga, dan ini lebih sesuai dengan pandangan ilmiah modern, dengan kurang dari 20% yang memilih opsi sifat saja atau pemeliharaan saja (Newport, 1998).

Persoalan tentang Perubahan & Moralitas
Dapatkah Kaum Homoseksual Mengubah Orientasi Seksualnya?
Perdebatan tentang sifat/pemeliharaan atas homoseksualitas tentu saja adalah bagian dari persoalan besar tentang apakah orientasi seksual adalah sebuah persoalan pilihan atau tidak. Dengan kata lain, apakah perilaku homoseksual adalah benar atau salah. Dalam poling Newsweek yang disebutkan di atas (Leland & Miller 1998), 56% orang Amerika melaporkan bahwa mereka percaya bahwa kaum gay DNA lesbian dapat mengubah orientasi seksualnya. Untuk mempengaruhi perubahan itu, kaum homoseksual sebelumnya bergantung pada berbagai macam bentuk “terapi reparatif” (termasuk terapi versi di mana pria gay ditunjukkan imej pria erotis dan diberi kejutan listrik pada biji kemaluannya). Baru-baru ini, terdapat sejumlah organisasi religius yang berusaha untuk membantu kaum gay “agar berubah ke jalan yang benar”, namun beberapa evaluasi program itu belum dipublikasikan, dan tingkat kesuksesannya masih diperdebatkan secara sengit.
Poin terpenting yang dibuat yakni, apakah kaum gay dapat berubah ataukah tidak, mayoritas kaum homoseksual tidak percaya bahwa perubahan semacam itu dapat benar-benar terwujud. Hanya sekitar 1 dalam 10 (11%) kaum homoseksual dalam poling Newsweek 1998 saja yang setuju bahwa mereka dapat mengubah orientasi seksualnya.

Apakah Homoseksual itu Benar atau Salah?
Ilmu pengetahuan alam dan sosial banyak menyebutkan tentang homoseksual. Perilaku heteroseksual adalah bentuk terlazim ekspresi seksual (“norma”) dalam masyarakat Amerika. Di sisi lain, perilaku homoseksual dilaporkan dalam peradaban manusia yang diteliti (Huwiler & Remafedi, 1998). Sebagaimana halnya dengan ilmu pengetahuan alam, satu dari beberapa argumen terlazim terhadap homoseksualitas adalah gagasan keliru yang mengemukakan bahwa perilaku seks-sejenis tidak terjadi di antara hewan, yakni homoseksual “tidaklah alamiah” dan tidak dapat diterima/immoral. Tinjauan beberapa studi lapangan pada mamalia dan burung yang dipublikasikan baru-baru ini menampakkan bahwa perilaku seks-sejenis terjadi pada hampir setiap spesies. Menurut fakta, “homoseksualitas eksklusif dari berbagai macam tipe terjadi dalam lebih dari 60 spesies mamalia dan burung yang liar, termasuk 10 jenis binatang menyusui tingkat pertama dan lebih dari 20 persen spesies mamalia lainnya” (termasuk singa, jerapah, gorila, orang hutan, dan simpanse) (Bagemihl 1999). Fakta-fakta yang nampak pada orang-orang yang menentang sikap positif terhadap homoseksual tentu saja memiliki efek kecil sebab pengetahuan ini juga dapat digunakan untuk mengargumenkan bahwa homoseksualitas adalah basis atau karakteristik “hewan”. Sebagaimana yang diperlihatkan oleh Weinrich, “Ketika binatang melakukan sesuatu yang kita sukai, kita menyebutnya alamiah. Ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak kita sukai, kita menyebutkannya animalistik” (Weinrich 1982).
Meskipun terdapat bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa homoseksualitas ditentukan secara genetika, namun isu moral tidak akan pernah selesai. Orang-orang yang memiliki sikap pro-gay kemungkinan besar menyimpulkan bahwa “terlahir sebagai homoseksual” adalah seperti terlahir dengan tangan-kidal dan seharusnya diabaikan. Orang-orang yang memiliki sikap anti-gay akan menyimpulkan bahwa terlahir sebagai gay adalah seperti terlahir dengan cacat bawaaan – terlahir dalam keadaan “sakit” dan perlu perawatan. Argumen-argumen di atas menjelaskan bahwa apakah homoseksualitas itu adalah moral atau immoral, normal atau abnormal, hal itu adalah sebuah persoalan “yang seluruhnya diserahkan kepada pengamatan pembaca” (Bagemihl 1999). Oleh karenanya, menurut opini kami, peran guru harus mendukung remaja gay, bukan berusaha untuk mengubah mereka atau mengajarkannya.

Bagaimana Kita Dapat Membantu?
Semua anak remaja akan terkejut dengan apa yang dimaksud dengan seksualitas. Mereka memperhatikan tubuhnya dan perasaan seksualnya, dan mereka akan terkesimak dengan apa yang orang lain lakukan dan pikirkan. Beberapa pertanyaan tentang orientasi seksual adalah hal lazim. Bagaimana kita dapat membantunya?

Mulailah dengan Inventarisasi Personal
Pemahaman-diri dan kesadaran-diri adalah langkah pertama. Bagaimana Anda benar-benar merasakan tentang bunuh diri, orientasi seksual seorang anak remaja, serta isu-isu anak remaja yang menjadi gay/lesbian dan biseksual? Apakah terdapat informasi berlebih yang Anda butuhkan? Setelah membaca artikel ini, apakah Anda merasa nyaman dalam level pengetahuan Anda tentang anak remaja GLB atau apakah Anda memerlukan informasi berlebih tentang diri Anda? Apa yang Anda ketahui tentang penelitian terbaru dalam genetika behavioral, tentang biologi orientasi seksual, tentang perilaku seks-sejenis di semua spesies, dan lain sebagainya? Apakah Anda mengetahui tentang di mana memperoleh informasi tambahan tentang topik-topik di atas? Apakah ada orang lain yang dapat Anda ajak untuk mendiskusikan isu-isu tersebut dengan baik guna memperoleh informasi yang dibutuhkan dan menetapkan posisi Anda sendiri? Bagaimana bias sumber-sumber dan individu-individu tersebut?
Beberapa siswa memiliki kepintaran, dan sikap serta kepercayaan kami kerap kali bersifat transparan. Seberapa pentingkah penerimaan akan perbedaan terhadap kesejahteraan dan pendidikan kaum muda kita? Apa tanggung jawab yang diemban oleh guru-guru biologi terhadap tujuan pendidikan ini? Apa tugas Anda terhadap siswa yang berpotensi melakukan bunuh diri? Apa kepercayaan dan sikap personal tentang homoseksualitas? Apakah Anda menerima seksualitas GLB sebagai sesuatu yang termasuk di dalam perilaku normal, atau apakah Anda percaya bahwa gay dapat dan seharusnya mengubah orientasi seksualnya? Apa kepercayaan moral dan/atau religius tentang homoseksualitas? Apakah perilaku Anda sesuai dengan kepercayaan Anda dan komitmen ideologi Anda terhadap kesejahteraan siswa? Untuk menjelaskan reevaluasi-diri ini dan apa yang baru saja Anda baca, apakah kepercayaan atau tindakan yang ingin Anda ubah?

Menguji Kembali Atmosfer di Ruang Kelas Anda
Jika kita ingin siswa kita merasa cukup nyaman untuk mengajukan pertanyaan kepada kita, kita harus bekerja keras untuk membuat ruang kelas kita menjadi lingkungan yang nyaman. Pemberian respons yang tidak kritis dan dengan pertimbangan positif mutlak dan pertukaran terbuka. Pemodelan penerimaan secara jujur tentang beberapa pertanyaan dan penerimaan respons-respons dengan rasa hormat bisa menciptakan arena yang aman bagi para siswa untuk merefleksikan beberapa pertanyaan personal penting yang sebaliknya tidak akan ditanyakan. Apa jenis interaksi personal yang Anda lakukan dengan para siswa (melawan, superior, menerima, memperhatikan)? Apakah remaja yang Anda temukan memperhatikan persoalan-persoalan dan pertanyaan-pertanyaannya? Apakah Anda adalah pendengar yang baik? Dapatkah Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit, mempertahankan sikap non-keputusan, dan menunjukkan bahwa Anda menilai masing-masing siswa? Apa ekspresi wajah Anda dan bahasa tubuh Anda ketika para siswa mengajukan beberapa pertanyaan yang sulit? Apakah para siswa senang mengekspresikan perbedaan-perbedaan pandangan dan opini? Apakah mereka mengetahui tentang betapa pentingnya kesejahteraannya bagi Anda?
Sebagaimana yang diperlihatkan sejak awal, pelecehan verbal adalah fakta kehidupan yang buruk bagi siswa gay, dan ada baiknya menentang sebutan-nama atau makian verbal lainnya. Pengidentifikasian perilaku yang tidak dapat diterima dan penyediaan pernyataan sederhana tentang mengapa Anda merasakan hal semacam itu bisa mengirimkan pesan yang kuat kepada semua siswa. Tentu saja kata-kata dan perilaku kita juga menentukan contoh kepada yang lainnya; bersikap hati-hati tidak akan pernah membuat kesenangan atau meremehkan para siswa, bahkan dengan senda gurau.
Secara luas, pilihan guru atas kata-katanya adalah komponen terpenting dalam menentukan sebuah lingkungan yang aman bagi semua remaja. Kita hidup dalam sebuah kultur yang menganggap bahwa setiap orang adalah heteroseksual. Sebagaimana halnya beberapa produk kultur itu, para guru secara tak sadar akan menggunakan beberapa istilah yang memarjinalkan dan meniadakan remaja dengan daya tarik seks-sejenis. Ini bisa mengambil usaha bersama untuk menggunakan beberapa istilah seperti partner bukan pacar. Para siswa heteroseksual tidak mungkin melihat adanya perbedaan, namun remaja GLB pasti akan melihatnya demikian. (Bagaimana, misalnya, Anda berpikir bahwa remaja gay bisa memberikan respons ketika diskusi pencegahan STD secara eksklusif mengacu pada pasangan heteroseksual?) Dengan mengacu pada heteroseksual, homoseksual dan biseksual sebagai orientasi seksual juga lebih disukai dengan menggunakan istilah preferensi seksual sebab preferensi seksual mengimplikasikan sebuah kepercayaan personal bahwa orientasi seksual dipilih oleh seseorang, sebab orang bisa jadi lebih menyukai musik rap daripada musik heavy metal. Beberapa preferensi kekurangan stabilitas dan kekonkretan dan lebih rentan terhadap perubahan. Selain itu, pelabelan homoseksual sebagai “gaya hidup” mengimplikasikan bahwa Anda menerima sebuah pandangan stereotype negatif semua individu gay dan lesbian dan mengimplikasikan penolakan tersembunyi. Kehidupan homoseksual tentu saja adalah berbeda dengan kehidupan heteroseksual.

Menjawab Orientasi Seksual dalam Kurikulum Biologi
Terdapat beberapa cara untuk menjawab orientasi seksual secara eksplisit di ruang kelas biologi. Yang terbaik adalah dengan mendiskusikan pemahaman biologi terbaru tentang orientasi seksual sebagai contoh genetika behavioral. Pastikan untuk memasukkan riset terbaru termasuk studi-studi tentang kembaran, perilaku seks-sejenis di semua spesies, dan penelitian Hamer dan para pakar lain yang ditinjau di atas. Pastikan untuk mengakui bahwa sebagian besar keturunan manusia (termasuk orientasi seksual) tidak ditentukan oleh satu dari dua bentuk gen Mendelian sederhana namun bersifat polygenik dan multifaktorial. Kita juga merasakan bahwa ada baiknya mengakui bahwa kebanyakan siswa (dan orang tua serta pimpinan agama) memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang homoseksualitas dan menghormati opini-opini tersebut. Orientasi seksual, seperti halnya evolusi adalah contoh kasus yang tepat untuk digunakan ketika mengajarkan tentang sifat sains, jenis pertanyaan berbeda yang ditanyakan oleh sains dan religi, jenis bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah tersebut. Ini adalah tempat yang baik untuk menunjukkan bahwa sains tidak berpendapat tentang apakah perilaku homoseksual adalah benar atau salah, meskipun bukti ilmiah tentang penyebab-penyebab homoseksual dan kejadiannya dapat mempengaruhi opini seseorang tentang pertanyaan-pertanyaan non-ilmiah semacam itu. Dengan memastikan bahwa pengajaran Anda memfokuskan pada pertanyaan-pertanyaan dan bukti ilmiah dan bukan pada personal, beberapa argumen moral atau religius tentu saja adalah penting dan merupakan basis solid untuk merespons persoalan-persoalan apapun yang diajukan oleh orang tua atau pejabat sekolah.
AIDS adalah topik biologi umum lain yang kerap kali memunculkan isu-isu tentang perilaku homoseksual. Di Amerika Serikat dan negara lain di mana mayoritas penyebaran penyakit HIV terjadi di antara pria yang berhubungan seks dengan pria lain, ada baiknya mengingatkan kepada para siswa bahwa AIDS adalah penyakit yang bisa menular melalui hubungan seksual, bukan “penyakit gay”. Para siswa heteroseksual yang merasa bahwa AIDS hanya menjangkiti pria gay dapat diberi penjelasan tentang pemahaman yang keliru tentang keamanan ketika mereka percaya bahwa mereka tidak mungkin menjadi target virus AIDS. Beberapa siswa Amerika masih memiliki rasa permusuhan kultural dengan berpendapat bahwa AIDS adalah sebuah retribusi yang tepat terhadap perilaku immoral atau berpendapat bahwa pria gay adalah biang terjadinya krisis AIDS. Ada baiknya dalam pembahasan ini meninjau data statistik heteroseksual dari seluruh penjuru dunia dan memperlihatkan bahwa tingkat penyebaran penyakit HIV di antara para pria Amerika-lanjut usia (meskipun bukan kaum muda) yang berhubungan seks dengan pria lain adalah rendah sebab berkurangnya pengambilan risiko, sedangkan tingkat penyebaran penyakit pada heteroseksual terus mengalami peningkatan.
Remaja GLB memiliki model-model peran positif. Di sini, guru biologi dapat memberikan bantuan dengan mengenalkan orientasi seksual berbagai macam ilmuwan homoseksual ketika penelitiannya didiskusikan, khususnya ketika orientasi seksual berhubungan langsung dengan penelitiannya. Para ilmuwan homoseksual yang menonjol pada masa dahulu antara lain adalah Leonardo da Vinci, Sir Francis Bacon dan Alexander von Humbolt. Pada abad ke-20, para siswa mengenal Alan Turing (pencipta komputer modern pertama), Margaret Mead (antropolog dan presiden AAAS), Bruce Voeller (biologi dan peneliti AIDS, pelopor penggunaan nonoxynol-9 sebagai spermacide), dan Dean Hamer (yang penelitiannya telah kami diskusikan dalam makalah ini).

Mempertimbangkan Sesuatu yang Dapat Anda Lakukan di Luar Ruang Kelas
Dengan bergantung pada keyakinan personal Anda, kebijakan-kebijakan sekolah, dan posisi administrator, Anda mungkin juga mempertimbangkan rekomendasi bahwa komponen pencegahan bunuh diri ditambahkan pada kurikulum pendidikan kesehatan sekolah Anda. Doronglah administrator untuk memberikan training kepada guru tentang bagaimana memberantas pelecehan seksual di antara para siswa. Kembangkan daftar konselor lokal, organisasi pendukung-gay, web site dan bacaan untuk dibagi kepada remaja GLB, dan/atau dukunglah aliansi gay sekolah. (Daftar sumber yang direkomendasikan disajikan dalam Tabel 1). Yang terpenting, luangkan waktu Anda untuk berbicara dengan siswa Anda secara pribadi, pertahankan sikap yang mendukung dan menerima, dan hormati kerahasiaannya.

Apa Yang Terjadi Jika Saya Percaya bahwa Homoseksual adalah Immoral?
Seperti halnya para siswa, guru-guru memiliki beragam posisi berbeda tentang homoseksualitas. Meskipun para guru yang memiliki keyakinan moral menentang homoseksual tidak mungkin memakai saran-saran “di luar kelas” kita, kami percaya bahwa rekomendasi lain kami adalah sesuai dengan pengajaran yang baik tanpa memandang posisi Anda tentang persoalan-persoalan moral yang tercakup. Pengakuan, pemberian rasa hormat, dan menjadi pendengar yang baik, misalnya, adalah komponen-komponen utama pengajaran yang baik. Sebaliknya, pemberian bantuan kepada para siswa untuk memahami bahwa sebagian besar ciri manusia ditentukan oleh beberapa gen yang sesuai dengan faktor-faktor non-gentika, adalah informasi penting yang mereka butuhkan untuk memahami tubuhnya sendiri dan juga beberapa topik yang mempengaruhi kehidupan modernnya (misalnya, kecanduan).

Kesimpulan
Yang jelas, bunuh diri pada remaja adalah penyebab perhatian terbesar guru saat ini, dan remaja yang memiliki persoalan tentang orientasi seksual adalah lebih berisiko untuk berusaha mengakhiri hidupnya daripada remaja lainnya. Bagi kebanyakan remaja, sehari di sekolah adalah sehari pelecehan, ejekan, rasa benci dan kesepian. Sebagai guru, khususnya guru biologi, kita memiliki peluang dan tanggung jawab unik untuk membuat kehidupan siswa kita menjadi lebih baik. Meskipun terdapat penolakan tentang penyebab orientasi seksual, faktanya yakni homoseksual memang eksis. Kita memiliki siswa gay/lesbian/biseksual di ruang kelas kita. Mengingat bahwa kehidupan mereka dipertaruhkan, apa yang menjadi tanggung jawab kita bukan hanya dengan mendidiknya, namun juga melindungi setiap orang dari mereka. Tugas kita bukanlah menyalahkan atau memaafkan perilaku pribadi siswa-siswa kita, namun sebagai guru, kita dapat berfungsi sebagai model peran positif, kita dapat memberikan informasi yang tidak berat sebelah tentang isu-isu biologi yang sesuai dengan pribadi seseorang, kita dapat menjadi pendengar yang baik dan orang kepercayaannya, dan kita dapat menilai masing-masing siswa tanpa memandang ras, gender, kelas, atau orientasi seksualnya.

BAGIAN II. ANALISIS KRITIS

Artikel American Biology Teacher vol. 63 No. 3. Hal. 154-161 tentang Bunuh Diri dan Remaja Homoseksual membuat penulis terinspirasi untuk memahami tentang homoseksual. Berikut ini analisis kritis penulis yang berhubungan dengan bunuh diri kaum homoseksual yang dipaparkan melalui beberapa pertanyaan yaitu sebagai berikut:

1.Apa penyebab bunuh diri kaum gai, lesbian dan biseksual (GLB) di Amerika?
Menurut Bagley & Trembley, (1997b) dalam survei terpublikasi melaporkan bahwa 20% sampai 66% responden homoseksual berusaha untuk bunuh diri setidaknya sekali, dengan rata sekitar sepertiga Remaja gay berjumlah 30 sampai 50% dari semua usaha bunuh diri di antara remaja Amerika – kira-kira satu setiap enam jam (Gibson 1989). Sedangkan menurut (Nicholas & Howard, 1998) remaja GLB juga memiliki nilai tinggi dalam pengulangan usaha bunuh dirinya (20 sampai 52%). Usaha untuk bunuh diri tersebut karena orientasi seksual. Penyebab bunuh diri juga disebabkan oleh perlakuan kejam oleh orang-orang dilingkungan mereka misalnya disekolah perlakuan yang tidak baik diantaranya: (1) Kehidupan yang penuh dengan celaan, (2) Penolakan (3) Pengasingan dan (4) Diskriminasi
Hal ini diperkuat oleh beberapa survei, sampel berbasis-komunitas remaja GLB menunjukkan bahwa sebanyak 80% responden dilecehkan secara verbal, 43% dilempar dengan benda, 17% diserang secara fisik, dan 10% diserang dengan senjata–semuanya adalah karena orientasi seksualnya. Hampir separuh (40%) dari satu sampel melaporkan bahwa makian verbal terjadi setiap hari (D’Augelli & Hershberger, 1993; Pilkington & D’Augelli 1995).
Dalam survei berbasis-populasi terbaru di Massachusetts (Faulkner & Cranston 1998), para siswa yang melaporkan bahwa mereka memiliki perilaku seks-sejenis adalah 3.4 kali lebih mungkin sama seperti teman sebayanya yang bolos sekolah karena mereka merasa tidak aman, 5.5 kali lebih mungkin dapat teman sebayanya yang diancam atau dilukai dengan senjata di sekolahnya sebanyak 4 kali atau lebih, dan 2.9 kali lebih mungkin seperti teman sebayanya yang dipukul di sekolah. 28% remaja homoseksual keluar dari sekolah menengah sebab merasa tidak nyaman dan takut (Remafedi, 1987). Remaja homoseksual merasa tidak aman di rumah – 40% dari responden Pilkington dan D’Auglelli (1995) melaporkan bahwa mereka mengalami makian verbal dari anggota keluarga, dan 10% melaporkan bahwa mereka diserang secara fisik oleh anggota keluarga
Poling Gallup tahun 1998 menampakkan bahwa mayoritas orang Amerika (59%) percaya bahwa homoseksualitas adalah keliru ditinjau dari sudut pandang moral (Newport 1998). 98% dari responden berusia 15 sampai 19 tahun dalam survei nasional 1998 setuju bahwa melakukan hubungan seksual antara dua pria adalah “menjijikkan”, dan hanya 12% saja yang merasa percaya bahwa mereka dapat berteman dengan orang gay (Marsiglio, 1993).
Dari gambaran kekejaman tersebut remaja GLB kerap merespons depresi, kegelisahan, kekejaman, dan kurangnya penghargaan-diri, yang semuanya dapat memberikan kontribusi terhadap keputusan untuk melakukan usaha bunuh diri.
Dari paparan di atas menunjukan bahwa kaum homoseksual di Amerika mengalami depresi yang menyebabkan bunuh diri hal ini karena kehadiran mereka di lingkungan masyarakat dianggap sebagai hal yang imoral dan bertentangan dengan kehidupan sosial yang berlaku di masyarakat pada umumnya dan menyalahi kodrat yang diberikan oleh tuhan, tetapi disisi lainnya mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Maka keberadaan kaum homoseksual menurut penulis yaitu bagaimana kita menyikapinya secara baik dalam pergaulan mereka dimasyarakat
Menurut Leonardo, (2008) dalam ilmu psikiatri, homoseksual yang dianggap sebagai suatu bentuk gangguan jiwa hanyalah homoseksual egodistonik. Homoseksual jenis ini bercirikan pribadi tersebut yang merasa tidak nyaman dengan dirinya dan tidak dapat menerima kenyataan orientasi seksualnya yang abnormal tersebut. Akibatnya pribadi semacam ini dihantui kecemasan dan konflik psikis baik internal maupun eksternal dirinya. Homoseksual distonik memberikan suatu distress (ketegangan psikis) dan disability (hendaya, gangguan produktivitas sosial) sehingga digolongkan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa. Pribadi homoseksual tipe ini seringkali dekat depresi berat, akibatnya seringkali mereka mengucilkan diri dari pergaulan, pendiam, mudah marah dan dendam, aktivitas kuliah terbengkalai dan sebagainya. Homoseksual jenis inilah yang dicap sakit mentalnya dan memang harus diterapi dengan kenyataan seperti itu maka sebagian besar remaja melakukan bunuh diri. Tetapi kaum homoseksual lain justru dapat menerima apa yang ada di dirinya sebagai suatu bentuk hal yang hakiki Pribadi semacam ini berani coming out atau menyatakan identitas dirinya yang sesungguhnya sehingga konflik internal dalam dirinya lepas. Kaum homoseksual ini dinamakan egosintonik.
Permasalahan jiwa pada pribadi homoseksual sebenarnya jauh lebih banyak terkait faktor eksternal dirinya atau berupa tekanan dari masyarakat. Mereka yang tidak berani coming out ke masyarakat akan dihantui konflik identitas diri seumur hidupnya sedangakn mereka yang memberanikan coming out tetap menghadapi resiko dicibir atau malah dikucilkan masyarakat. Jadi sebenarnya homoseksual itu lebih berupa ‘penyakit masyarakat’ ketimbang penyakit jiwa karena memang yang menimbulkan penyakit itu adalah perlakuan dari masyarakat sendiri.
Dari uraian tersebut menunjukan bahwa kaum homoseksual serba salah ada sebagian yang tidak mau menerima kenyataan yang terjadi pada dirinnya sehingga menyebabkan stress sehingga menimbulkan bunuh diri, tetapi ada sebagian yang menerima kenyataan bahwa dirinya adalah homoseksual tetapi di masyarakat mereka dikucilkan/tidak diterima dimasyarakat karena sebagian besar masyrakat beranggapan bahwa itu adalah kelainan jiwa yang dibuat-buat faktor seperti ini juga dapat menyebabkan sepresi pada kaum homoseksual sehingga bunuh diri dapat terjadi.

2.Apakah orientasi seksual disebabkan oleh faktor keturunan atau lingkungan?
Poling terbaru menunjukkan bahwa orang Amerika lebih condong pada penjelasan “pemeliharaan” bukan “sifat” untuk orientasi seksualnya dengan marjin 47 banding 31% (Newport 1998). Dalam poling Newsweek (Leland & Miller 1998), proporsi orang Amerika yang sama (33%) percaya bahwa homoseksualitas adalah “sesuatu yang orang-orang munculkan, bukan hasil dari pemeliharaan atau pengaruh lingkungan”. Proporsi orang Amerika yang menerima sebuah penjelasan genetika (hanya 13% pada tahun 1977)
Hamer & Copeland (1994); menjalankan studi-studi genetika molekuler dalam kromosom 40 pasangan saudara laki-laki gay. Di antara saudara kandung tersebut, angka statistik signifikan – 33 pasangan menerima daerah serupa kromosom X-nya (q28) dari ibunya (hanya 20 yang diduga kebetulan terjadi). Sealain itu Rudolf, 2008 dalam artikelnya mengemukakan bahwa sebuah tim peneliti dari Institut Kanker Nasional yang meneliti 100 pria homoseksual menemukan bahwa paman dan sepupu pria sebagian besar dari mereka juga homoseks, dan hal ini menunjuk pada faktor keturunan. Dalam perbandingan DNA dari 40 pasang saudara yang sama jenis, diketahui bahwa hampir semua mempunyai tanda genetik di daerah Xq28 di kromosom X. Penelitian pada DNA 36 saudara lesbian tidak menunjukkan pola yang sama.
Jadi, tidak hanya Hamer saja yang menemukan bukti yang mendukung heritabilitas genetika dalam orientasi homoseksual di antara pria tersebut, namun ia juga memetakan penetapan lokus (kadang-kadang disebut sebagai “gen gay”) dalam kromosom X, yang menjelaskan observasi-observasi awal bahwa homoseksual cenderung terjadi dalam pola terkait-X dalam beberapa keluarga. Riset ini dikritik luas dalam sejumlah pernyataan, khususnya seleksi pasangan saudara kandung yang pola terkait-X dalam turunan homoseksualnya nampaknya bersifat a priori. Tanpa memandang kritikan tersebut, penelitian Hamer sekarang ini diakui secara luas sebagai penelitian yang mendukung kesimpulan bahwa dalam beberapa keluarga, orientasi homoseksual memiliki komponen turunan yang kuat.
Menurut Nancy, (2008) yang dikutip dalam Ameracan Psychiatric Association, homoseksualitas adalah immutable (tidak bisa diubah) karena orientasi seksual ini bukanlah pilihan seseorang. Mereka percaya bahwa orientasi seksual dilahirkan. Beberapa penelitian yang diadakan juga mendapati bahwa ada kelainan hormone dan fungsi otak dari penderita homoseks. Tekanan sosial, gagalnya therapy reorientasi, diskrimimasi masyarakat dipercaya menjadi penyebab para homoseks semakin menderita serta meningkatnya angka bunuh diri di kalangan mereka.
Di kubu lain yang tidak kalah panas, adalah kelompok yang percaya bahwa homoseksualitas adalah pilihan hidup. Perubahan orientasi seksual bukanlah suatu hal yang tidak mungkin asal ada keinginan yang kuat dari yang bersangkutan. Pendapat ini tentunya sebagian besar di support oleh kalangan Kristen konservatif dan kelompok psikolog/prikiater yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah.
Argument mereka juga berdasarkan penelitian yang yang mengubungkan adanya pengaruh factor lingkungan terhadap penyimppangan prilaku seksual. Misalnya, hubungan antara ibu dan anak perempuan yang tidak harmonis (bagi homoseks wanita) dan absennya figure ayah bagi (homoskes pria). Ketidakmampuan seorang anak laki-laki beradaptasi dengan anak kelompok bermainnya (yang sejenis) juga bisa menjadi factor penyebab. Dapat dikatakan bahwa penderita homoseks kemungkinan besar adalah anak-anak yang tidak dekat dengan ayahnya, mereka yang berulang kali mengalami penolakan atau mereka yang memiliki figur ayah yang ‘kejam’.
Faktor penyebab lainnya adalah semakin gencarnya promosi homoseksualitas yang dipimpin oleh media massa (tv, majalah, film) dan tokoh masyarakat, meningkatnya jumlah gay activist yang secara terang-terangan memperjuangkan hak-hak mereka, serta bertambahnya simpati dan toleransi masyarakat bagi kelompok ini. Semua ini membantu memperkuat indentitas diri kaum homoseks dan menutup pintu bagi mereka untuk mencari jalan keluar.
Menurut Herlianto, (2003) yang dikutip dari Goldenson dalam tulisannya mengenai ‘Homosexuality’ dalam ‘The Ensiclopedia of Human Behaviour: Psychology, Psychiatry, and Mental Health’ menyebut dugaan penyebab yang bersifat ‘konstitusional’ (genetika, perbedaan kromosom, keseimbangan hormonal) dan ‘psiko-sosial’ (pengalaman seksual dini, hubungan kekeluargaan kacau, kontak sosial), dan dari keduanya ia menyebut bahwa penyebab genetis masih merupakan hipotesa sedangkan penyebab psiko-sosial sudah banyak buktinya.
Victor Tanya dalam tulisannya ‘Penyakit AIDS dan Tugas Pengembalaan Gereja’ mengutip laporan badan seksual Amerika Serikat ‘Sexuality & Man’ menyebutkan bahwa homo bukanlah bakat lahiriah tetapi disebabkan pengaruh luar seperti rumah tangga pecah, pendidikan yang repressif, kesulitan menyesuaikan diri, atau pengalaman pahit semasa kecil. Sekalipun kenyataan menunjukkan bahwa faktor pengaruh lingkungan sangat dominan dalam membentuk perilaku homo, untuk mencari pengakuan, kaum homo terus berusaha untuk mencari alasan genetis, apalagi ditengah masyarakat liberal, permissive yang menganut etika situasi, maka dengan alasan hak azasi manusia usaha itu terus digulirkan.
Faktor penyebab homoseksual yaitu hereditas dan lingkungan. Pada pengaruh lingkungan prilaku homosek ada kemungkinan untuk dirubah, namun pada aspek hereditas ketika dalam diri seseorang terdapat kelebihan hormon Androgen pada laki-laki yang semestinya dimilki oleh perempuan dan Tertosteron pada perempuan yang merupakan hormon pria, para ahli medis sampai saat ini masih spekulatif dalam menyikapinya (Maulidiansyah, 2009)
Mengacu pada teori penyebab homoseksual, dr. Wimpie Pangkahila menyebutkan ada empat kemungkinan penyebab homoseksual. Pertama, faktor biologis, yakni ada kelainan di otak atau genetik. Kedua, faktor psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak. Ketiga, faktor sosiokultural, yakni adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseks dengan alasan tertentu yang tidak benar. Keempat, faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat.
Sementara, menurut Budi, aktivis Gaya Nusantara , ada dua hal yang menyebabkan orang menjadi gay. Pertama, faktor bawaan atau gen, yaitu adanya ketidakseimbangan jumlah hormon pada diri seseorang sejak lahir. Jumlah hormon wanita cenderung lebih besar daripada laki-laki. Hal ini dapat berpengaruh pada sifat dan perilaku si laki-laki tersebut. Jati diri kewanitaan biasanya lebih kuat, sehingga mereka cenderung berperilaku feminin dan selalu tertarik terhadap aktivitas yang dilakukan wanita.
Laki-laki yang menjadi gay karena faktor tersebut biasanya tidak bisa kembali menjadi laki-laki dalam arti sebenarnya. Tapi, sifat gay tersebut bisa berkurang frekuensinya. Tentunya, diperlukan usaha yang keras. Misalnya, tidak bergaul lagi dengan kaum gay, punya keyakinan yang kuat, dan harus tahan segala godaan.
Kedua, faktor lingkungan, yaitu komunitasnya lebih sering bertemu dengan laki-laki dan amat jarang bertemu dengan wanita. Selain itu, ada juga dari mereka yang terlibat dalam kehidupan gay semata-mata karena gaya hidup dan materi. Biasanya mereka berawal dari coba-coba untuk berhubungan dengan sesama jenis dengan imbalan uang. Jenis gay ini bisa hilang bila mereka telah menemukan pasangan hidup wanita. Atau, mereka keluar akibat terkena penyakit kelamin. Dan juga, gay tersebut dapat kembali sebagai lelaki sepenuhnya bila punya komitmen kuat untuk menjauhi kehidupan gay sedangkan Andrew, (2008) faktor penyebab kecenderungan homoseksual antara lain ketidakseimbangan hormon prenatal, sumber keluarga, pola generasi yang tidak diturunkan, urutan kelahiran, kepribadian, pengenalan seks dewasa, terlalu dini, dan pengaruh kebudayaan sekitar. Akibat pengaruh-pengaruh ini sangat jelas, yaitu munculnya perasaan orang-orang muda yang tidak kuat dalam pengenalan identitas diri sendiri sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Pada sebagian orang hal ini diperkuat dengan perlakuan lawan jenis (seringkali melalui pelecehan seksual di masa anak-anak). Tetapi bagi sebagian besar dengan ketertarikan sesama jenis, terdapat hasrat yang besar terhadap perhatian dan kasih sayang sesama jenis yang menetap. Perasaan ini keluar dari keterasingan yang mendalam yaitu seseorang merasakan dirinya tidak memadai sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Bila rasa rendah diri terhadap jenis kelamin merupakan akar penyebab homoseksual, maka ketertarikan pada sesama jenis nampak lebih jelas ekspresinya.
Faktor lain yang dapat menyebabkan orang menjadi homoseksual, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. DR. Wimpie Pangkahila (Pakar Andrologi dan Seksologi) selain faktor biologis (kelainan otak dan genetik), adalah faktor psikodinamik, yaitu adanya ganguan perkembangan psikseksual pada masa anak-anak, faktor sosiokultural, yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseksual dengan alasan yang tidak benar, dan terakhir adalah faktor lingkungan, dimana memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual menjadi erat.
Dari keempat faktor tersebut, penderita homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat disembuhkan menjadi heteroseksual. Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan, maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut.
Jadi dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik

3. Dapatkah Kaum Homoseksual Mengubah Orientasi Seksualnya?
Leland & Miller (1998), mengemukakan 56% orang Amerika melaporkan bahwa mereka percaya kaum gay DNA lesbian dapat mengubah orientasi seksualnya. Untuk mempengaruhi perubahan itu, kaum homoseksual sebelumnya bergantung pada berbagai macam bentuk “terapi reparatif” (termasuk terapi versi di mana pria gay ditunjukkan imej pria erotis dan diberi kejutan listrik pada biji kemaluannya). Baru-baru ini, terdapat sejumlah organisasi religius yang berusaha untuk membantu kaum gay “agar berubah ke jalan yang benar”, namun beberapa evaluasi program itu belum dipublikasikan, dan tingkat kesuksesannya masih diperdebatkan
Apakah kaum gay dapat berubah ataukah tidak, mayoritas kaum homoseksual tidak percaya bahwa perubahan semacam itu dapat benar-benar terwujud. Hanya sekitar 1 dalam 10 (11%) kaum homoseksual dalam poling Newsweek 1998 saja yang setuju bahwa mereka dapat mengubah orientasi seksualnya
Nancy, (2008) mengemukakan di Amerika para psikolog dan psikiater menjadi ‘leading force’ yang mendidik masyarakat untuk menerima homoseksualitas sebagai suatu bagian dari variasi seksual yang normal. Usaha mereka antara lain adalah mendidik orang tua dan guru untuk menerima anak-anak yang memiliki orientasi homoseksual sebagai anak yang normal, mencabut license konselor/therapist yang melayani re-orientasi seksual (conversion therapy), serta memberi label kepada kelompok yang menentang homoseksualitas sebagai homophobia. Sikap dan pendapat mereka ini bertolak dari argument yang mengatakan bahwa usaha apapun yang dilakukan untuk mengubah seorang homoseks menjadi heteroseks akan gagal. Seseorang yang telah mengikuti therapy reorientasi kemudian gagal sangat besar kemungkinan menderita depresi, anxiety atau mental disorder lainnya. Namun dilain pihak untuk mengubah prilaku seksualnya dengan theraphy.
Orientasi homoseksual dapat dihialngkan dengan cara individu yang bersangkutan harus mau dan mampu mengontrol hasrat mereka (menjauhi kontak homoseksual) secara disiplin. Hal penting lainnya adalah dukungan dari orang-orang yang tidak menyetujui homoseksualitas terhadap mereka yang ingin berubah ini. Pengobatan dengan psikoterapi kemungkinan berhasilnya dalam menyembuhkan homoseksualitas berkisar 30%, jika didukung oleh komitmen religius individu, maka upaya untuk menghindar dari kebiasaan homoseksual ini akan lebih berhasil. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nancy, (2008) bahwa berikan usaha apapun itu (konseling, psikotherapy, bimbingan rohani) untuk membantu mereka berubah namun harus dilakukan dengan cara yang supportif dan unik dengan melihat setiap pribadi kasus demi kasus

4. Pembelajaran Biologi di Kelas Tentang Orientasi Seksual, Gay, Lesbian dan Biseksual?
Remaja Gay, Lesbian dan biseksual (GLB) memiliki model-model peran positif. Di sini, guru biologi dapat memberikan bantuan dengan mengenalkan orientasi seksual yang terjadi dimasyarakat
Siswa dikenalkan dengan komunitas homoseksual yang sudah lama diketahui ada pada dunia manusia. Contohnya Leonardo da Vinci adalah salah satu tokoh besar yang disebut-sebut sebagai seorang homoseksual. Walaupun hal ini sudah diketahui keberadaannya di tengah sosial sejak lama, namun polemik dan kontroversi di dalamnya masih terus berkecamuk tiada akhir, khususnya di negara-negara dengan kultur budaya dan agama yang kuat seperti halnya di negara kita. Awalnya homoseksual memang digolongkan sebagai suatu bentuk deviasi seksual (penyimpangan) dalam bidang psikiatri. Namun seiring dengan waktu dan diikuti dengan kemajuan teknologi penelitian, maka didapatkan bahwa homoseksual memiliki faktor penyebab kuat berupa defek genetic atau dengan kata lain segi biologis.

Dalam pembelajara biologi terkait dengan fenomena di atas guru diharapkan dapat menjelaskan penyebabnya baik secara genetik (konsep-konsep biologi) maupun yang dipengaruhi lingkungan, kemudian mengaitkan dengan perilaku-perilaku seksual yang terjadi di masyarakat. Dalam penyampaian ini guru tentu memberikan pandangan moral dan cara penyikapan yang baik dalam melihat hal tersebut. Guru menempatkan posisi netral dan tidak membuat kesimpulan bahwa GLB benar atau salah. Guru bisa memanifestasikan sudut pandang psikomedis, yakni homoseksual saat ini tidak lagi dikategorikan sebagai sesuatu gangguan atau penyakit jiwa ataupun sebagai suatu penyimpangan (deviasi) seksual. Karena homoseksual merupakan suatu fenomena manifestasi seksual manusia, seperti juga heteroseksual (hubungan seks antar jenis kelamin berbeda) Nugroho, 2007)
Selain itu dengan memahami adanya kemungkinan orientasi seksual yang berbeda, yang mulai muncul pada usia remaja siswa, maka guru diharapkan bisa memahami serta menolong permasalahan mereka. Menolong disini selain mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dalam ruang kelas, guru bisa melakukan usaha untuk bisa langsung berkonsultasi dengan siswa yang memiliki orientasi seksual berbeda, membesarkan hati mereka, dan menjadi teman yang baik bagi siswa dalam meyelesaikan masalahnya, khususnya terkait dengan orientasi seksual mereka.
Untuk mencegah orientasi seksual maka pada kurikulum biologi tregantung kebijakan sekolah, dan posisi administrator, dengan mempertimbangkan rekomendasi bahwa komponen pencegahan bunuh diri ditambahkan pada kurikulum pendidikan kesehatan sekolah. Doronglah administrator untuk memberikan training kepada guru tentang bagaimana memberantas pelecehan seksual di antara para siswa. Kembangkan daftar konselor lokal, organisasi pendukung-gay, web site dan bacaan untuk dibagi kepada remaja GLB, dan/atau dukunglah aliansi gay sekolah. Yang terpenting, setiap guru meluangkan waktunya untuk berbicara dengan siswa secara pribadi, pertahankan sikap yang mendukung dan menerima, dan hormati kerahasiaannya.
Selain itu pemberian rasa hormat, dan menjadi pendengar yang baik, misalnya, adalah komponen-komponen utama pengajaran yang baik. Sebaliknya, pemberian bantuan kepada para siswa untuk memahami bahwa sebagian besar ciri manusia ditentukan oleh beberapa gen yang sesuai dengan faktor-faktor non-gentika, adalah informasi penting yang mereka butuhkan untuk memahami tubuhnya sendiri dan juga beberapa topik yang mempengaruhi kehidupan modernnya (misalnya, kecanduan).

BAGIAN III. REMAJA HOMOSEKSUAL DI INDONESIA

A. Pandangan Masyarakat Terhadap Homoseksual
Tentang homoseksual ini masyarakat Indonesia umumnya masih memiliki pikiran yang sempit, mungkin karena masalah seputar seksual masih tabu untuk menjadi bahan pembicaraan (walaupun sudah bukan tabu lagi untuk dilakukan atau dinikmati di kalangan remaja jaman sekarang). Buktinya masih banyak yang menyamakan antara kaum homoseksual dengan kaum banci (transeksual). Padahal diantaranya jelas-jelas sangat berbeda dalam ilmu kejiwaan. Selain itu, masyarakat Indonesia masih sangat alergi terhadap kaum gay atau lesbian dan menganggap mereka adalah orang-orang yang sakit jiwa Leonardo, (2008). Hal yang serupa juga disampaikan oleh Yulianti, (2008) yang mengutip beberapa pendapat psikolog antara lain perilaku homoseksual adalah suatu kebiasaan yang buruk, dimana individu menjadi seperti itu karena mereka bersikap permisif dan suka bereksperimen secara seksual. Artinya, kaum homoseksual memang memilih gaya hidup ini sebagai hasil dari memanjakan diri/mengikuti hasrat (self-indulgence) dan tidak mau mengikuti aturan main di lingkungan.
Menurut sejumlah psikoanalis, perilaku homoseksual adalah suatu bentuk gangguan mental. Mereka percaya bahwa homoseksual bukan bersifat bawaan, melainkan disebabkan oleh hubungan keluarga yang tidak baik di masa kanak-kanak individu yang bersangkutan atau karena berbagai trauma yang dialami oleh individu tersebut. Sedangkan pandangan yang bersifat “biological”. Mereka percaya bahwa dorongan tersebut bersifat genetik atau disebabkan faktor hormonal. sehingga mereka tidak bisa memilih (untuk jadi homoseksual atau tidak). Oleh sebab itu juga tidak perlu ada “trauma masa kecil” dulu untuk menjadi homoseksual
Rido, (2008) menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia masih berbentuk democracy of uniformity, dimana pemenuhan dan perlindungan HAM dilakukan berdasarkan kepentingan kelompok mayoritas saja, sedangkan hak-hak kelompok minoritas tetap termarjinalisasikan. Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kaum minoritas. Hal tersebut harus dijalankan pemerintah karena "perlindungan lebih" merupakan hak dasar kaum minoritas sebagaimana dijelaskan di dalam pasal 5 ayat (3) UU no 39 tahun 1999 tentang HAM. Kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender/Transsexual/ waria) adalah kelompok minoritas yang masih tertindas hak-hak dasarnya sebagai manusia dan warga negara. Pandangan-pandangan negatif muncul dalam masyarakat normal kepada kelompok "sakit" ini. LGBT acap kali dianggap sebagai sampah masyarakat, penyakit menular atau penyandang cacat mental.
Menurut Triawan ketua LSM Arus Pelangi, di sejumlah tempat di Indonesia, perilaku homoseks sudah diterima dan diakui. Kita mengetahui bahwa di Pono-rogo (Jawa Timur) telah ada pengakuan homoseksualitas, Arus Pelangi adalah LSM tempat mangkalnya kaum lesbian, gay, bisexual, dan trans-gender (LGBT). Merujuk pada buku Javanese Lives: Women and Men in Modern Indonesia Society (1991) karya Walter L William, dalam budaya Jawa awam, homoseksual sering diterima sebagai hal yang lumrah. Buku ini berisi 27 riwayat hidup wanita dan pria Jawa hombreng dari berbagai kalangan.
Gerakan homoseksualpun merambah wilayah politik. Ditandai dengan isu yang digelindingkan Partai Rakyat Demokratik (PRD) bahwa kepentingan kaum gay perlu terwadahi di legislatif. Dalam manifestonya sendiri, PRD mencantumkan "hak-hak homoseksual dan transeksual". Alasannya, komunitas ini sudah cukup banyak. Belum lama ini, sosok wariapun sudah berani mencoba untuk ikut fit and proper test di Gedung DPR. Sampai saat ini, tidak ada angka pasti berapa jumlah homo di Indonesia. Tapi, pada tahun 2003 saja, klaim hasil survei Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) LSM yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseks menyebut adanya 4000 hingga 5000 orang homo di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Bahkan Dede Oetomo memperkirakan secara nasional jumlahnya telah mencapai sekitar 1 % dari total penduduk Indonesia. Menurut Dede Oetomo, gerakan homo memasuki fase semifinal bila regulasi perkawinan (UU Perkawinan No 1/1974) bisa didobrak sehingga melegalkan perkawinan homo.
Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka termasuk yang memilih untuk non coming out karena takut akan ancaman sosial-agama dari masyarakat. Sebagai catatan dari suatu survey dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia. Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit (Leonardo, 2008).
Data yang telah didapat oleh Arus Pelangi bahwa di tahun 2006 sudah tercatat jumlah waria DKI Jakarta sebesar +/- 4000 jiwa, 80% dari jumlah tersebut bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) dan 25 % dari jumlah tersebut terjangkit HIV/AIDS. Banyak waria terjebak kehidupannya sebagai PSK karena eksitensi mereka dalam masyarakat tidak diterima sehingga mereka tidak dapat menikmati bangku pendidikan atau ketrampilan khusus untuk dapat bekerja sebagai kaum profesional.
Remaja yang gay (homoseksual), lesbian atau biseksual mempunyai prilaku berisiko tinggi, seperti halnya minum minuman beralkohol dan menggunakan obat terlarang, melakukan kegiatan seksual yang terlalu dini, merokok dan bunuh diri, yang lebih sering daripada rekan sebayanya yang heteroseksual. Pelajar gay, lesbian atau biseksual memiliki kemungkinan membolos sekolah hampir lima kali dibanding yang lain, karena rasa takut dan mempunyai kemungkinan lebih dari empatkali diancam dengan menggunakan senjata di lingkungan sekolah. Pelajar yang dilaporkan berorientasi homoseksual atau biseksual memiliki kemungkinan untuk menggunakan obat suntik lebih dari sembilan kali dibanding pelajar yang lain. Remaja gay, lesbian dan biseksual memiliki kemungkinan yang lebih besar daripada pemuda lainnya untuk melakukan hubungan seksual, agar memiliki jumlah pasangan seksual yang lebih besar dan untuk dipaksa dalam kegiatan seksual. Para peneliti menjelaskan bahwa remaja homoseksual dan biseksual menghadapi peningkatan ketegangan seperti pengasingan emosional, penolakan masyarakat, dan rendahnya harga diri yang kemungkinan dapat meningkatkan perilaku berisiko
Bagaimanapun kita sebagai pribadi yang terpelajar hendaknya mau mengerti latar belakang kaum homoseksual, tidak semata merasa jijik atau malah menolak mereka. Tentunya kita tidak bisa mengucilkan teman Anda yang berambut ikal karena memang gen nya membawa sifat ikal seperti itu bukan? Begitu pula homoseksual, bukan kemauan mereka untuk menjadi homoseksual, namun bedanya gen orientasi seksual semacam itu mencangkup pula segi perilaku sosial bukan semata penampilan fisik seperti halnya rambut ikal. Dukungan sosial justru sangat dibutuhkan oleh kaum homoseksual, dengan demikian mereka dapat menemukan dan mengaktualisasikan identitas dirinya serta terbebas dari stress, dengan demikian mereka dapat tetap produktif dalam masyarakat.
Homoseksual harus dibedakan dengan gangguan transeksual (banci). Transeksual masih termasuk dalam gangguan jiwa jenis preferensi seksual. Bedanya yang mudah diantara keduanya adalah bahwa kaum homoseksual tidak pernah ingin mengganti jenis kelaminnya (misal dengan operasi plastik), tidak pernah berhasrat mengenakan pakaian lawan jenis (melainkan kebanyakan gay berpenampilan macho dan necis). Selain itu kaum transeksual terutama memiliki dorongan untuk menolak jenis kelaminnya, dan mengingini jenis kelamin lawan jenisnya. Jadi pengertian transeksual lebih ke arah penolakan akan identitas dirinya sebagai seorang pria atau wanita, bukan menekankan kepada orientasi seksual (keinginan dengan siapa berhubungan seksual / membina relasi romantis).
Strategi besar gerakan kaum hombreng di Indonesia untuk mencapai tujuannya. Sebagaimana disebutkan dalam buku Indahnya Kawin Sesama Jenis strategi gerakan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia adalah:
1Mengorganisir kaum homo-seksual untuk bersatu dan berjuang merebut
hak-haknya yang telah dirampas oleh negara
2Memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkan-nya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya
3Melakukan kritik dan reak-tualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan
konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual
4Menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan
perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.
B. Perkawinan Homoseksual di Indonesia
Secara diam-diam, praktik perkawinan homoseksual sendiri sudah dimulai pada 2003. Bertempat di Planet Pyramid, restoran ternama di Jalan Parangtritis, Yogyakarta, pada 6 September 2003 pasangan hombreng William Johanes (59, Belanda) dan Philip Iswardono (37, Indonesia) melangsungkan perkawinan. Sebelumnya, pasangan homo Dr Mamoto Gultom (41) dan Hendy M. Sahertian (30) telah bertunangan pada 7 November 1999. Mereka kemudian hidup serumah di kawasan Pondok Gede. Rumah itu sekaligus.
Markas Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN), yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseks. Pada Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, acara Good Morning Trans TV menampilkan wanita lesbi bernama Agustin. Ia mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangan lesbongnya. Agustin yang kini pekerja di LSM Koalisi Perempuan Indonesia, ingin jujur dan menghimbau masyarakat bisa memahami dan menerimanya.
Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Omongannya dibenarkan seorang psikolog wanita narasumber TransTV yang mengatakan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi dan praktik seksual yang normal. Pernikahan anak manusia yang abnormal seperti itu niscaya akan semakin banyak, seiring bertambahnya pelaku dan korban homo.

C. Kehidupan Kaum Homoseksual di Indonesia
Di Indonesia kehidupan kaum homoseks tidak lagi underground (sesuatu yang rahasia). Beberapa diskotik di kota-kota besar di Indonesia pun tidak risih untuk membuat acara khusus gay dan lesbian setiap minggunya. Acaranya pun begitu variatif mulai dari Fashion Show, cowok berbadan atletis, pemilihan cowok-cewek trendi, pemilihan cowok berondong, sampe acara tahunan Miss Universe waria.
Mereka yang lebih menyukai perilaku sesama jenis sangat bervariasi gaya hidupnya. Walau kebanyakan diam atau merahasiakan orientasi seksual mereka karena berbagai alasan, yang lain memilih bersikap terbuka dan ikut serta dalam kelompok gay dan lesbian yang makin terlihat dan aktif secara politik baik secara domestik maupun internasional.
Walau pengertian tentang homoseksualitas makin meningkat, pandangan lama terhadap mereka yang menyenangi hubungan sesama jenis masih banyak. Tidak seperti pandangan kebanyakan orang bahwa homoseksual senang menjaring anak-anak atau orang dewasa yang tidak curiga ke arah perilaku seks sesama jenis, homoseksual seperti juga heteroseksual ternyata menemukan seksualitas mereka melalui proses kedewasaan. Kebanyakan individu yang terlibat dalam kegiatan sesama jenis dibesarkan dalam rumah kaum heteroseksual. Karena pola ketakutan akan sesama jenis atau sentimen dan perilaku anti homoseksual yang ada di masyarakat luas, banyak individu sesama jenis mengalami ambivalen kejiwaan atau tertekan dalam proses memahami seksualitas mereka.
Remaja yang menunjukkan orientasi sesama jenis dilaporkan tiga kali lebih mungkin mencoba untuk bunuh diri dibanding rekan mereka yang berorientasi pada lain jenis. Ketakutan terhadap kaum homoseksual ini juga menimbulkan tingkat kekerasan yang tinggi dan diskriminasi terhadap gay dan lesbian, dan hal ini menimbulkan tingkat yang tidak proporsional akan alkoholisme dan pemakaian zat terlarang lain pada gay dan lesbian.
Berbeda dengan pandangan umum, hanya sedikit homoseksual di dunia termasuk Indonesia bisa dikategorikan selalu menempati posisi maskulin atau feminin dalam seks. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku homoseksual biasanya masuk dalam tiga kategori dalam frekuensi:
perilaku oral-genital, memeluk dan mencium
seks anal
tindakan alternatif seperti 'fisting' (dimana tangan, tapi bukan mengepal, dimasukkan ke rektum pasangannya).
Di Indonesia dan umumnya di dunia homoseksualitas biasanya dihubungkan dengan banci atau mengenakan pakaian lawan jenis, heteroseksual yang suka mengenakan pakaian lawan jenisnya juga sebanyak yang homoseksual. Lebih lanjut lagi pria homoseksual juga sama rawannya terhadap pedofilia (ketertarikan pada anak-anak) seperti pria heteroseksual. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa homoseksual bisa memiliki lebih banyak pasangan selama hidupnya dibanding heteroseksual. Tetapi banyak juga homoseksual yang membangun hubungan jangka panjang tanpa berganti pasangan. Dengan epidemi AIDS maka banyak homoseksual yang memilih gaya hidup yang menekankan hubungan dengan satu pasangan dibanding dengan banyak pasangan.
Wanita tampaknya kurang terlibat dalam kegiatan sesama jenis dibanding pria. Praktek hubungan sesama jenis antar wanita tampaknya lebih dapat diterima dalam beberapa masyarakat dan negara-negara dunia ke-3. Walaupun di Indonesia belum ada aturan tentang kawin sejenis tetapi itu sudah terjadi. Di beberapa masyarakat Afrika, wanita pedagang yang kaya bisa memutuskan untuk menikahi wanita dan bahkan membangun keluarga dengan mengambil anak atau bawahan pria yang dipercaya untuk menghamili istri mereka. Di India, beberapa wanita homoseksual memiliki peran yang diterima masyarakat sebagai pengikut dari dewi Hindu atau Sikh tertentu. Walau terdapat homoseksualitas wanita di semua masyarakat saat ini dan yang lampau, wanita yang terlibat dalam perilaku sesama jenis biasanya tidak begitu dihiraukan pada penelitian Barat. Kebangkitan gay dan lesbian baru-baru ini memiliki peran yang penting dalam merubah pandangan terhadap homoseksualitas.

D. Simpulan dan Saran
Berdasarkan analisis kritis artikel yang berjudul Bunuh Diri dan Homoseksual pada Remaja dapat disimpulkan sebagai berikut:
1Bunuh diri pada remaja adalah penyebab perhatian terbesar guru saat ini, dan remaja yang memiliki persoalan tentang orientasi seksual adalah lebih beresiko untuk berusaha mengakhiri hidupnya daripada remaja lainnya
2Sebagai gurun khusunya guru biologi, kita memiliki peluang dan tanggungjawab unti untuk membuat kehidupan siswa kita lebih baik. Meskipun terdapat penolakan tentang penyebab orientasi seksual, faktanya yakni homoseksual memang eksis
3Tugas seorang guru adalah menyalahkan atau memaafkan perilaku pribadi siswa-siswa kita. Namun sebagai guru, kita dapat berfungsi sebgai model peran positif, kita akan memberikan informasi yang tidak berat sebelah tentang isu-isu biologi yang sesuai dengan pribadi seseorang, kita dapat menjadi pendengar yang baik dan orang kepercayaanny, dan kita dapat menilai masing-masing siswa tanpa memandang ras, gender, kelas, atau orientasi seksualnya.
4Untuk meminimalisir kemungkinana homoseksualitas maka pada saat masih kanak-kanak, individu harus diberikan pendidikan secara proporsional oleh kedua orang tua khususnya pada usia 4 tahun keatas. Seorang ayah harus memerankan perannya sebagai seorang bapak yang baik dan begitu pula seorang ibu harus memerankan perannya sebagai seorang ibu secara baik pula. Oleh karena itu pola asuh orang tua yang baik dapat meminimalisir kemungkinan individu menjadi homoseksual.

Dari simpulan di atas maka penulis menyarankan kepada guru agar dalam menghadapi siswa yang homoseksual harus dapat berfungsi sebagai model yang berperan positif dengan memebrikan informasi yang tidak berat sebelah tentang isu-isu biologi yang sesuai dengan pribadi seseorang.

DAFTAR RUJUKAN

Andrew, 2008. Kerajaan Allah dan Homoseksual. (online) Pancaran Anugerah (Living Waters Indonesia) - Buku Kecil Kerajaan Allah dan Homoseksual.htm. diakses 13-02-09

Jusfiq. 2005. Homoseksual di Gereja. (online) http://docs.yahoo.com/info/terms/.

Leonardo. 2008. Jangan Bilang Homoseksual itu Gangguan Jiwa. (online) http://docs.yahoo.com/info/terms/.

Nugroho, A. 2007. Pandangan Terhadap Kaum Homosekksual dan Lesbian (online) http://docs.yahoo.com/info/terms/. Diakses 14-02-09

Priastana. 2008. Membentuk Pribadi Bersusila Yang Mandiri (Online) http://docs.yahoo.com/info/terms/.

Herlianto, 2003. Homoseksual. (online) Homoseksual.htm. diakses 13-02-09

Smith, M.A & Drake, M.A. 2001. Suicide & Homoseksual Teens What Can Biology Teacher Do To Help?. American Biology Teacher, Vol. 63. No.3. Hal 154-161